ngepeter's face

ngepeter's face
wajah orang-orang ruwet

Minggu, 01 Mei 2011

ANALISIS NOVEL SOSIOLOGI SASTRA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Perkembangan sastra Indonesia pasca 1965 tidak ter- lepas dari faktor situasi sosial politik pada masa awal kelahiran Orde Baru. Pada periode tersebut terjadilah peristiwa penting baik pada bidang sosial, politik, maupun kebudayaan. Dalam bidang kebudayaan termasuk di dalamnya kesusastraan, peristiwa yang cukup penting dan menentukan bagi kehidupan kesusastraan untuk masa berikutnya adalah kemenangan kubu Manikebu dengan paham humanisme universalnya dan kekalahan kubu Lekra dengan paham realisme sosialnya. Teeuw (1986: 43) mencatat bahwa di bidang kebudayaan, segala macam kelompok dan perorangan, yang praktis tutup mulut sejak 8 Mei 1964, menjadi kembali bergerak dan mulai memperdengarkan suara mereka. Koran-koran dan majalah yang pernah dilarang pada masa Orde Lama, memulai kembali penerbitannya. Juga terbit majalah baru, yakni Horison sebagai majalah sastra. Keith Foulcher (Prisma, 1988: 20) mengatakan bahwa sebagian dari karya sastra terpenting awal periode Orde Baru dapat dilihat sebagai pemekaran energi yang kemungkinan tampak tidak mempunyai tempat dalam iklim sekitar tahun 1965, ketika pendefisian kesetiaan politik mendominasi sebagian kerja dan hasil kreatif orang Indonesia.
Kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah munculnya pembaruan dan eksperimen penciptaan karya sastra yang lebih bebas. Berkaitan dengan munculnya pembaruan dan eksperimen penciptaan karya sastra, Jakob Surmadjo (1984: 6-7) membuat analisis sosiologis dengan menyebut tiga faktor sebagai titik tolak. Latar belakang sosiologis munculnya pembaruan dan inovasi tersebut, selain karena situasi sosial politik awal Orde Baru, Jakob Sumardjo menambahkan dengan faktor maecenas Dewan Kesenian Jakarta dan faktor pergantian generasi sastra. Dengan adanya Dewan Kesenian Jakarta, aktivitas kesenian memperoleh subsidi dari pemerintah DKI. Dewan ini memberikan kesempatan kepada para seniman untuk berkreasi secara merdeka. Dengan demikian, kebebasan yang dimiliki ditambah dengan penyediaan fasilitas menyebabkan kegairahan mencipta semakin semarak. Sedangkan faktor pergantian generasi sastra menekankan pada munculnya kecenderungan untuk bereksperimen pada sastrawan yang baru mulai karier kesastraannya pada dekade 70-an, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Danarto, Budi Darma dan Putu Wijaya.
Putu Wijaya merupakan salah seorang sastrawan yang produktif. Karya karya Putu Wijaya banyak mendapatkan tanggapan dari para kritikus sastra. Berbagai komentar terhadap novel-novel Putu Wijaya baik yang bersifat sekilas atau yang sifatnya mendalam dalam bentuk esai bermunculan di media massa, buku, maupun dalam forum-forum seminar. Demikian pula karya-karya Putu Wijaya banyak dipergunakan sebagai objek penelitian bagi penyusunan skripsi oleh mahasiswa fakultas sastra. Imran T. Abdullah dkk. (1978 :12) mengatakan bahwa sebagai seorang novelis, Putu Wijaya menempatkan dirinya tak jauh dari kelihaiannya sebagai penulis naskah drama.
Dalam prosanya ia cenderung mempergunakan gaya atau metode objektif dalam pusat pengisahannya dan gaya stream of consciousness dalam pengungkapannya. Ia lebih berani mengungkapkan kenyataan hidup karena dorongan naluri yang terpendam dalam bentuk bawah sadar, lebih-lebih libodo seksual yang ada dalam daerah kegelapan id. Jakob Sumardjo (1983 : 133) menyebut Putu Wijaya sebagai tokoh utama sastrawan Indonesia pada dasa warsa 1970-an. Lebih lanjut Jakob mengatakan bahwa Putu Wijaya muncul dan berkembang dalam dekade itu. Menurut (Ibid: 133) berpendapat bahwa novel Putu Wijaya juga penuh potongan-potongan kejadian yang padat, intens dalam pelukisan, ekspresif bahasanya dan disatukan oleh suasana tema. Y.B. Mangunwijaya (1988 : 50) telah membuat esei tentang novel Telegram (1973) dan mengatakan bahwa novel tersebut merupakan karya yang matang dan dewasa, sedangkan bentuknya sangat berhasil. Sementara itu, Mursal Esten (199 : 49) mengatakan bahwa novel-novel Putu Wijaya : Telegram dan Stasiun dan pada naskah-naskah drama yang ditulisnya seperti Anu, Aduh, dan Lho merupakan klimaks dari proses perubahan yang terjadi dan telah diperlihatkan sebelumnya. Analisis yang lebih mendalam dilakukan oleh Jiwa Atmaja dalam bukunya Novel Eksperimental Putu Wijaya (1993). Dalam bukunya tersebut Jiwa Atmaja menganalisis salah satu novel Putu Wijaya yaitu Keok (1978). Jiwa Atmaja juga telah berhasil merekonstruksi kelas sosial pengarang dan menemukan pandangan dunia Putu Wijaya. Pada bagian kesimpulan, Jiwa Atmaja (1993 : 86-87) menyebutkan: Sekalipun "struktur dalam" novelnya menunjukkan sifatnya yang kompleks namun masih mungkin dilihat keterikatannya dengan subjeknya, yakni kelompok intelektual yang di dalamnya termasuk pengarangnya. Kondisi sosial menjelang dan sesudah Orde Baru memang belum memberi kemungkinan bagi kelompok ini menempatkan diri pada posisi yang menentukan arah perkem- bangan politik dan ekonomi. Meskipun demikian, kelompok ini masih mencoba tampil ke depan sebagai subjek yang penuh percaya diri dalam menanggapi perubahan sosio-budaya berdasarkan visi dunianya.
Usaha-usaha yang dilakukan antara lain, berupa perlawanan terhadap sistem (dalam novel Keok) terimplisit dalam sistem lalu lintas yang kacau, penyesuaian diri malahan pengasingan diri yang terimplisit melalui adegan tokoh wanita menutup mulut dan tidak mau melakukan komunikasi. Sesungguhnya masih banyak tanggapan positif dari kritikus sastra terhadap karya-karya Putu Wijaya yang tidak mungkin penulis uraikan satu per satu. Tanggapan dan analisis serta esei tersebut menunjukkan perhatian yang cukup besar terhadap karya-karya Putu Wijaya. Demikian pula hal itu membuktikan bahwa posisi Putu Wijaya cukup penting dalam percaturan kesusastraan Indonesia. Namun demikian, tidak semua karya Putu Wijaya memperoleh porsi yang sama.
Dari sekian banyak komentar, Telegram, Stasiun, Pabrik, dan Keok memperoleh porsi yang besar. Karena itu, analisis terhadap karya Putu Wijaya yang lain patut di-lakukan. Dalam penelitian ini penulis membatasi hanya pada novel Nyali (1983) yang merupakan novel Putu Wijaya yang kurang banyak mendapat tanggapan dibadingkan Telegram dan Stasiun, padahal novel Nyali tidak kalah menarik dibanding novel-novel Putu Wijaya yang lain. Hal yang menarik dalam novel Nyali adalah permasa- lahan yang diungkapkannya. Novel ini mengungkap konflik sosial dan politik yang penuh dengan kekejaman. Konflik sosial dan politik tersebut memiliki kesejajaran dengan konflik sosial dan politik dalam sejarah Indonesia. Keith Foulcher (dalam Robert Cribb, ed, 1990 : 104) memberikan komentarnya terhadap novel ini sebagai novel luar biasa yang mempunyai kemiripan dengan peristiwa sejarah sekitar tahun 1965, meskipun samar-samar dan dalam bentuk yang berlainan dari tradisi kesusastraan Indonesia.
Sesungguhnya banyak novel yang menyinggung atau memiliki latar peristiwa sejarah sekitar tahun 1965. Ashadi Siregar pada tahun 1979 menerbitkan novelnya yang berjudul Jentera Lepas (1979) yang menceritakan nasib sebuah keluarga yang berkaitan dengan PKI sesudah peristiwa tahun 1965.
Yudistira ANM dengan novelnya Mencoba Tidak Menyerah (1979) yang melukiskan kesengsaraan sebuah keluarga setelah sang bapak yang disangka oleh masyarakat beraliran komunis ditahan oleh aparat pemerintah. Demikian juga dengan novel Kubah (1980) karya Ahmad Tohari juga bercerita tentang seorang yang terlibat dalam Partai Komunis Indonesia ditahan di Pulau Buru. Sekembalinya dari tahanan ia kembali ke masyarakat dan sadar serta taat kepada agama. Novel Ahmad Tohari yang berikutnya yakni trilogi Ronggeng Dukuh Paruk sedikit banyak juga menyinggung permasalahan ini.
Tema dan permasalahan serupa juga termuat dalam novel karya Ayip Rosidi yang berjudul Anak Tanah Air Secercah Kisah (1985). Hal lain yang menarik pada novel Nyali bila diban- dingkan dengan novel yang menyinggung atau bercerita tentang peristiwa sejarah sekitar tahun 1965 lainnya, adalah gaya penceritaannya tidak menunjuk secara langsung tentang konflik politik yang terjadi pada kurun sejarah sekitar tahun 1965. Demikian juga novel Nyali tidak menunjuk secara langsung pada latar tempat dan nama-nama tokoh yang terlibat dalam peristiwa sejarah tersebut. Namun sesungguhnya konflik sosial dan politik dalam novel Nyali mempunyai kesejajaran dengan konflik sosial dan politik yang terjadi dalam sejarah Indonesia sekitar tahun 1965.
Hal inilah yang menjadi latar belakang penulis untuk menganalisis novel Nyali dan penulis ingin membuktikan bahwa konflik sosial dan politik dalam novel Nyali punya kesejajaran dengan sejarah Indonesia sekitar tahun 1965.



1.2. Batasan Masalah
Karya sastra merupakan dunia kemungkinan, artinya ketika pembaca berhadapan dengan karya sastra, maka ia berhadapan dengan kemungkinan penafsiran. Setiap pembaca berhak dan seringkali berbeda hasil penafsiran terhadap makna karya sastra. Pembaca dengan horison harapan yang berbeda akan mengakibatkan perbedaan penafsiran terhadap sebuah karya sastra tertentu. Hal ini berkaitan dengan masalah sifat, fungsi dan hakikat karya sastra. Sifat- sifat khas sastra ditunjukkan oleh aspek referensialnya (acuan), "fiksionalitas", "ciptaan" dan sifat "imajinatif" (Wellek dan Warren, 1993:18-20). Sedangkan fungsi sastra tergantung dari sudut pandang serta ditentukan pula oleh latar ideologinya.
Hakikat keberadaan karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi. Ketiga unsur itulah yang menyebabkan masalah yang luas dan kompleks dalam dunia sastra. Hal ini juga telah memungkinkan beragamnya teori dan pendekatan terhadap karya sastra, beragamnya aliran dalam sastra dan memungkinkan beragamnya konsep estetik karya sastra.Mengingat masalah yang ditawarkan dunia sastra sangat luas dan kompleks, dalam kesempatan ini penulis membatasi ruang lingkup permasalahannya dengan maksud agar pembicaraan tidak terlalu mengambang. Pembatasan tersebut adalah pemahaman terhadap novel Nyali dengan berdasarkan sosiologi sastra. Sesungguhnya sosiologi sastra itu pun sangat rumit dan luas, karena itu penulis membatasi ruang lingkup permasalahan hanya dari aspek karya sastra sebagai cermin masyarakat atau dengan kata lain karya sastra dilihat sebagai dokumen sosial budaya.

1.3. Rumusan masalah
1. Bagaimana konflik sosial dan politik yang terkandung dalam novel Nyali dengan analisis sosiologis.
2. Bagaimana kolerasi antara novel Nyali dengan kenyataan dalam sejarah masyarakat Indonesia.


1.4. Tujuan Penelitian
Alasan-alasan yang telah dikemukakan pada bagian latar belakang merupakan faktor pendorong dilakukannya penelitian ini. Sedangkan tujuan penelitiannya menyangkut masalah teoritis dan praktis. Hal ini berkaitan dengan latar belakang penulis sebagai orang yang bergerak dalam kalangan akademik sastra yang selalu dituntut untuk menitik beratkan pada landasan ilmiah dalam kegiatan penelitian sastra.
Secara ringkas tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Melalui penelitian ini diharapkan dapat membuktikan sejauh mana sosiologi sastra dapat diaplikasikan pada novel Indonesia modern dalam hal ini novel Nyali dilihat sebagai dokumen sosio-budaya.
2. Meskipun penelitian terhadap novel karya Putu Wijaya sudah banyak dilakukan, namun demikian, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi penelitian yang sudah ada dengan cara dan persepsi yang berbeda sehingga dapat diperoleh keanekaragaman pemahaman dan penafsiran dengan masing-masing argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
3. Menyangkut tujuan praktis, penelitian ini diharapkan membantu pembaca untuk memahami novel Putu Wijaya.












BAB II
LANDASAN TEORI
Kritik sastra memiliki korelasi yang erat dengan perkembangan kesusasteraan. Menurut Andre Hardjana (1991 : 1) kritik sastra merupakan sumbangan yang dapat diberikan oleh para peneliti sastra bagi perkembangan dan pembinaan sastra. Hal senada juga diungkapkan oleh Subagio Sastrowardoyo (1983:6) bahwa untuk bisa menentukan bagaimana sesungguhnya perkembangan kesusasteraan Indonesia, dibutuhkan suatu kritik. Pendekatan dalam kritik sastra cukup beragam. Pendekatan-pendekatan tersebut bertolak dari empat orientasi teori kritik.
Yang pertama, orientasi kepada semesta (universe) yang melahirkan teori mimesis. Kedua, teori kritik yang berorientasi kepada pembaca (audience) yang disebut teori pragmatik. Penekanannya bisa pada pembaca sebagai pemberi makna dan pembaca sebagai penerima efek karya sastra. Resepsi sastra merupakan pendekatan yang berorientasi kepada pembaca. Ketiga, teori kritik yang berorientasi pada elemen pengarang dan disebut sebagai teori ekspresif. Keempat adalah teori yang berorientasi kepada karya (work) yang dikenal dengan teori objektif (Abrams, 1976: 6-29). Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta (universe), namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan sosiologi sastra sebagai landasan teori dalam menganalisis novel Nyali. Menurut pandangan teori ini, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra. Wilayah sosiologi sastra cukup luas. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra. Wailayah sosiologis cukup luas. Wellek dan Warren (1993: 111) membagi telaah sosiologis menjadi tiga klasifikasi yaitu:
a. Sosiologi pengarang: yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang.
b. Sosiologi karya sastra: yakni yang mempermasalahkan tentang suatu karya sastra; yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya.
c. Sosiologi sastra: yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosial terhadap masyarakat.
Klasifikasi tersebut tidak jauh berbeda dengan bagan yang dibuat oleh Ian Watt (Damono, 1979: 3) dengan melihat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat.
Telaah suatu karya sastra menurut Ian Watt akan mencakup tiga hal, yakni:
a. Konteks sosial pengarang, yakni yang menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk didalamnya faktor-faktor sosial yang mempengaruhi diri pengarang sebagai perseorangan disamping mempengaruhi isi karya sastranya.
b. Sastra sebagai cermin masyarakat, yang dielaah adalah sejauh mana sastra dianggap sebagai cerminan masyarakat.
c. Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan masyarakat bagi pembaca.
Umar Junus (1986 : 3) mengemukakan bahwa yang menjadi pembicaraan dalam telaah sosiologi sastra adalah sebagai berikut:
1. Karya sastra dapat dilihat sebagai dokumen sosio-budaya;
2. Penelitian mengenai penghasilan dan pemasaran karya sastra;
3. Penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya sastra seorang penulis tertentu dan apa sebabnya;
4. Pengaruh sosio budaya terhadap penciptaan karya sastra, misalnya pendekatan Taine yang berhubungan dengan bangsa, dan pendekatan Marxis yang berhubungan dengan pertentangan kelas.
5. Pendekatan strukturalisme genetik dari Goldman; dan
6. Pendekatan Devignaud yang melihat mekanisme universal dari seni, termasuk sastra.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yang pertama yakni karya sastra dilihat sebagai dokumen sosio-budaya yang mencatat kenyataan sosio-budaya suatu masyarakat pada suatu masa tertentu. Pendekatan ini bertolak dari anggapan bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya.
Bagaiamanapun karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya (Abrams, 1981:178). Demikian pula objek karya sastra adalah realitas kehidupan, meskipun dalam menangkap realitas tersebut sastrawan tidak mengambilnya secara acak. Sastrawan memilih dan menyusun bahan-bahan itu dengan berpedoman pada asas dan tujuan tertentu (Saini, 1986: 14-15). Henry James (Michel Zerraffa dalam Elizabeth and Burns, 1973:36) mengatakan bahwa sastrawan menganalisis "data" kehidupan sosial, memahaminya dan mencoba menentukan tanda yang esensial untuk dipindahkan ke dalam karya sastra.
Apabila realitas itu adalah sebuah peristiwa sejarah, maka karya sastra dapat, pertama, mencoba menterjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imajiner dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah sejarah menurut kadar kemampuan pengarang; kedua, karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapannya mengenai peristiwa sejarah dan ketiga seperti juga karya sejarah, karya sastra dapat merupakan penciptaan kembali peristiwa sejarah dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang (Kuntowijoyo, 1987: 127).
Hubungan dialektik antara karya sastra dan realitas sosial budaya memperkuat anggapan bahwa sastra merupakan salah satu institusi sosial. Sastra tidak hanya mendapat pengaruh dari realitas sosial tetapi juga dapat mem- pengaruhi realitas sosial. Memang benar sastra mengambil sebagian besar karakternya dari bahasa, namun bentuk dan isi novel lebih banyak berasal dari fenomena sosial daripada dari seni lain, terkecuali film; novel seringkali merupakan ikatan dengan momentum tertentu dalam peristiwa sejarah masyarakat (Michel Zerraffa dalam Elizabeth and Burns, 1973:35). Lebih lanjut Zerraffa (ibid) mengatakan bahwa karya sastra merupakan analisis estetis dan sintesis sebuah realitas tertentu dan novelis senantiasa melakukan analisis dan sintesis sebelum memulai menulis.
Dalam mengaplikasikan pendekatan ini, karya sastra tidak dilihat sebagai keseluruhan, melainkan hanya tertarik pada unsur sosio-budaya di dalamnya yang dilihat sebagai unsur-unsur yang lepas dari kesatuan karya. Sehubungan dengan analisis terhadap novel Nyali, penulis mengambil unsur yang dominan dalam karya tersebut, yakni konflik sosial dan politik. Untuk menganalisis konflik sosial dan politik dibutuhkan teori yang relevan dengan permasalahan yang dianalisis, yakni teori konflik. Dalam penelitian ini teori konflik yang penulis pergunakan adalah klasifikasi konflik politik yang dikemukakan oleh Ramlan Surbakti (Memahami Ilmu Politik, 1992), Lewis A. Coser (dalam David L. Sills, The International Encyclopedia of The Social Sciences, 1968), Maurice Duverger dalam bukunya Sosiologi Politik (1993), dan Tom Bottomore dalam bukunya Sosiologi Politik (1992).
Sebagaimana telah penulis sebutkan bahwa konflik sosial dan politik yang terkandung dalam novel Nyali memiliki kesejajaran dengan konflik sosial dan politik dalam sejarah Indonesia sekitar tahun 1965. Sedangkan penulisan novel tersebut dilakukan pada tahun 1980-an. Dalam penelitian ini penulis tidak memfokuskan pada faktor genesis kelahiran novel tersebut, tetapi menitikberatkan pada faktor mimesis. Hal ini mengingat peristiwa dominan yang terbayang dalam novel tersebut terjadi pada sekitar tahun 1965. Dengan kata lain rentang waktu antara tahun novel tersebut ditulis dan peristiwa yang tersirat dalam novel tersebut cukup jauh.







BAB III

3.1. Metode Penelitian
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Pertama-tama dipilih salah satu unsur dalam novel Nyali yakni aspek konflik sosial dan politik. Selanjutnya konflik sosial dan politik dalam novel tersebut dideskripsikan dengan dibantu oleh teori-teori tentang konflik serta dihubungkan dengan peristiwa sekitar tahun 1965. Deskripsi ini dilengkapi dengan data-data sejarah yang diperoleh dari kepustakaan.

3.2. Analisis Konflik Sosial Dan Politik Dalam Novel Nyali
Konflik merupakan fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat. Konflik bisa terjadi dalam hubungan proses produksi yang termanifestasikan dalam pemogokan buruh yang memiliki tuntutan ekonomis berupa kenaikan upah dan perbaikan kondisi kerja. Pertikaian antar kelompok etnis yang berbeda dalam memperebutkan sumber yang sama juga tidak jarang terjadi dalam masyarakat yang mejemuk. Demikian juga konflik yang memiliki motif keagamaan. Pertentangan antara kelompok keagamaan yang satu dengan kelompok ke- agamaan yang lain sering kali terjadi, karena masing- masing berusaha mempertahankan kemurnian ajaran yang diyakininya. Sedangkan dalam kehidupan politik kehidupan masyarakat sering dihadapkan pada konflik dalam rangka untuk mendapatkan dan atau memperjuangkan sumber daya langka yang tidak jarang disertai dengan kekerasan. Konflik terjadi karena dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok kepentingan (Surbakti, 1992: 109).
Lembaga-lembaga, organisasi, dan kelas-kelas sosial yang tidak selalu memiliki kepentingan yang sama dan serasi. Di antara kelompok- kelompok tersebut memiliki perbedaan taraf kekuasaan dan wewenang. Demikian pula dengan distribusi dan alokasi sumber daya yang langka di antara kelompok-kelompok masyarakat tidak selalu seimbang. Kondisi seperti ini tidak terelakkan, sehingga konflik merupakan gejala yang senantiasa terjadi dalam masyarakat. Weber (Coser dalam David L. Sills 1968 : 232) berpendapat konflik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial. Simmel (Soerjono Soekanto, 1988 : 69) berpendapat bahwa terjadinya konflik tidak terelakkan dalam masyarakat. Masyarakat dipandang sebagai struktur sosial yang mencakup proses-proses asosiatif dan disosiatif yang hanya dapat dibedakan secara analisis. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa konflik merupakan pencerminan pertentangan kepentingan dan naluri untuk bermusuhan.
Menurut Ramlan Surbakti (1992:18), mengingat konflik merupakan gejala yang serba hadir dalam masyarakat, maka konflik tidak mungkin dihilangkan, melainkan hanya dapat diatur mekanisme penyelesaiannya. Thomas Hobbes, seorang filosof sosial terkemuka abad tujuh belas, berpendapat tentang konflik yang bertolak dari keadaan alamiah masyarakat. Thomas Hobbes (Soerjono Soekanto, 1998: 9) mengatakan:
Keadaan alamiah masyarakat manusia senantiasa di- liputi oleh rasa takut dan terancam bahaya kematian karena kekerasan. Kehidupan manusia selalu dalam keadaan menyendiri, miskin, penuh kekotoran dan ke- kerasan serta jangka waktu kehidupan pendek. Apabila manusia dibiarkan menanggung nasibnya sendiri, maka manusia akan menjadi korban keinginan merebut ke- kuasaan dan keuntungan, sehingga sebetulnya manusia dikuasai oleh motif-motif untuk memenuhi kepentingan dirinya. Dalam menghadapi situasi yang secara potensial mengembangkan hasrat untuk berperang dan adanya konflik, perlu diciptakan suatu organisasi dan ketertiban sosial yang dapat dipelihara dengan baik.
Konflik bisa ditinjau dari aspek sosial dan politik. Konflik sosial bisa diartikan sebagai perjuangan untuk mendapatkan nilai-nilai atau pengakuan status, kekuasaan dan sumber daya langka. Tujuan kelompok-kelompok yang berkonflik tidak hanya mendapatkan nilai-nilai yang di- inginkan tapi juga menetralkan, melukai atau mengurangi saingan-saingan mereka (Lewis A. Coser dalam David L. Sills : 232). Konflik bisa terjadi di antara individu dan individu, antara individu dan organisasi atau kelompok, antara organisasi yang satu dengan organisasi yang lain, dan dalam komponen sebuah organisasi atau kelompok (Robert C. North dalam David L. Sills 1968 : 226).
Istilah konflik dalam ilmu politik seringkali dikaitkan dengan kekerasan, seperti kerusuhan, kudeta, teror- isme, dan revolusi. Konflik politik dirumuskan secara longgar sebagai perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangaan di antara sejumlah individu, kelompok, ataupun organisasi dalam upaya mendapatkan dan atau mempertahankan sumber-sumber dari keputusan yang dibuat dan dilaksanakan pemerintah (Surbakti, 1992: 151). Secara sempit konflik politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan kolektif warga masyarakat yang diarahkan untuk menentang kebijakan umum dan pelaksanaannya, menentang perilaku penguasa beserta segenap aturan, struktur, dan prosedur yang mengatur hubungan-hubungan di antara partisipan politik (ibid).Konsep konflik seringkali dipertentangkan dengan harmoni dan integrasi. Konflik sering dianggap sebagai patologi sosial, perilaku abnormal, dan sebagai sebuah penyimpangan yang mengganggu keberhasilan integrasi masyarakat. Ketiadaan konflik dan adanya kerja sama dan peng- aturan kadang digunakan sebagai acuan keberhasilan integrasi atau stabilitas masyarakat. Namun sesungguhnya, konflik memiliki fungsi positif bagi masyarakat. Menurut Dahrendorf (Surbakti, 1992: 150) konflik berfungsi sebagai pengintegrasian masyarakat dan sebagai sumber perubahan. Selain itu, konflik berfungsi untuk menghilangkan unsur- unsur pengganggu dalam suatu hubungan. Dalam hal ini konflik sebagai penyelesaian ketegangan antara unsur-unsur yang bertentangan, yang mempunyai fungsi stabilisator dan menjadi komponen untuk mempererat hubungan (Nasikun via Surbakti 1992: 150). Konflik juga berfungsi sebagai unsur pengikat di antara kelompok-kelompok yang sebetulnya tidak berhubungan. Lewis A. Coser (dalam David L. Sills : 232) juga menilai secara positif fenomena konflik. Coser mengatakan bahwa:
Konflik adalah unsur penting bagi integrasi sosial. Selama ini konflik selalu dipandang sebagai faktor negatif yang memecah belah. Konflik sosial dalam beberapa cara memberikan sumbangan pada keutamaan kelompok serta mempererat hubungan interpersonal.
Gluckman ( Laura Nader dalam David L. Sills :238) berpendapat bahwa konflik tidak mengacaukan sistem sosial, akan tetapi memberikan kontribusi menuju terpeliharanya masyarakat. Ia mengambil contoh kasus di Afrika Selatan. Gluckman menjelaskan bahwa perjuangan antara ratu-ratu Zulu Afrika Selatan untuk memperebutkan tahta terjadi dalam keberlangsungan sistem sosial. Dalam contoh ini masyarakat memimpin dan mengontrol perselisihan melalui konflik kesetiaan, sehingga meskipun pembrontakaan terjadi di antara masyarakat Zulu, sistem sosial tidak berubah.
Pendapat senada juga diungkapkan oleh Duverger (1993:33) yang berpendapat bahwa setiap fenomena politik memiliki aspek konflik dan integrasi. Kekuasaan merupakan salah satu fenomena politik yang penting. Kekuasaan merupakan sumber daya langka yang menjadi penyebab konflik. Orang yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk mempertahankan kekuasaan. Di samping itu, ada pihak lain yang menentang kekuasaan dan ingin merebut kekuasaan itu untuk tujuan yang sama. Kekuasaan mempunyai aspek integrasi dalam arti bahwa kekuasaan dipergunakan untuk menegakkan ketertiban dan keadilan; sebagai pelindung kepentingan dan kesejahteran umum melawan tindakan berbagai kelompok kepentingan. Selanjutnya Duverger (1993: 275) mengatakan: Konflik dan integrasi bukan dua aspek yang kontradiktif di dalam politik; mereka juga saling melengkapi satu sama lain. Dalam mempelajari sebab-sebab antagonisme, kita mendapatkan bahwa hal ini agak ambivalen. Antagonisme menghasilkan konflik, akan tetapi, dalam kesempatan tertentu, juga menolong membatasi konflik dan meningkatkan integrasi. Berbicara secara umum, integrasi dalam hal-hal tertentu muncul sebagai akibat terakhir dari antoganisme politik, dan paham integrasi memainkan peranan penting justru di dalam perkembangan konflik. Setiap tantangan tehadap ketertiban sosial yang ada meliputi suatu visi dan rencana bagi suatu ketertiban sosial yang lebih tinggi dan lebih otentik. Setiap per- juangan berisikan tujuan tentang perdamaian dan merupakan usaha untuk merealisir tujuan tersebut. Banyak yang berpendapat bahwa konflik dan integrasi tidak berlawanan, akan tetapi menjadi bagian tak terpisahkan dari proses umum yang sama -- bahwa antoganisme cenderung, justru oleh perkembangannya, ke arah menghapus dirinya sendiri dan berikutnya menghasilkan harmoni sosial.
Dalam penelitian ini, penulis menekankan pada konflik sosial dan politik. Sesungguhnya konflik yang ber- aspek sosial dan konflik yang beraspek politik tidak bisa diadakan pembatasan yang tegas. Dalam beberapa kasus konflik sosial bisa mengarah kepada konflik politik. Ketidaksepakatan yang terjadi antara dua orang atau dua kelompok yang memiliki perbedaan kepentingan yang bisa diselesaikan oleh kedua orang atau kelompok tersebut tanpa melibatkan lembaga-lembaga politik dan pemerintah adalah konflik yang bisa dikategorikan sebagai konflik sosial. Akan tetapi, apabila pertentangan tersebut diselesaikan dengan keterlibatan pemerintah dan lembaga politik, maka konflik tersebut berkembang menjadi konflik politik. Demikian pula dengan pemogokan buruh akibat perselisihan dengan pengusaha. Pada umumnya pemogokan tersebut beraspek sosial dan ekonomi. Akan tetapi, bisa berubah menjadi konflik politik apabila pemogokan tersebut berkembang menjadi besar dan memiliki tuntutan politis, serta melibatkan lembaga-lembaga politik dan pemerintah. Gerakan- gerakan sosial yang nampak tidak punya tendensi politik terkadang memiliki tujuan politik untuk masa jangka panjang. Demikian pula dengan gerakan-gerakan intelektual seperti pendirian organisasi-organisasi intelektual yang melibatkan tokoh-tokoh yang punya sumber kekuasaan potensial bisa dijadikan sarana politik dan ada kemungkinan bisa menimbulkan konflik politik.
Konflik yang murni beraspek politik misalnya konflik di antara kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain dalam usaha mendapatkan dan atau mempertahankan sumber-sumber yang dikuasai pemerintah. Demikian juga dengan ketidakpuasan sekelompok masyarakat terhadap pemerintah yang berkembang menjadi gerakan separatis atau pemberontakan.
Dalam novel Nyali karya Putu Wijaya, konflik yang dominan adalah konflik politik. Namun demikian konflik sosial dalam novel tersebut juga dianalisis karena konflik politik dan konflik sosial dalam novel Nyali saling berkaitan. Konflik sosial merupakan akibat dari terjadinya konflik politik dan mempunyai pengaruh terhadap situasi politik.

3.2.1. Konflik Sosial
Jenis konflik yang dapat dikategorikan sebagai konflik sosial antara lain konflik dalam lembaga perkawinan, konflik dalam merebut jabatan, persaingan, permusuhan, dan konflik etnis. Dalam novel ini terdapat konflik yang bisa dikategorikan sebagai konflik sosial, yakni konflik dalam rangka memperebutkan jabatan. Konflik ini tidak murni beraspek sosial akan tetapi mempunyai tendensi politik. Akan tetapi, jenis konflik ini bisa ditinjau dari aspek sosial. Konflik semacam ini seringkali terjadi dalam sebuah organisasi dan biasanya disertai dengan persaingan. Dalam persaingan biasanya disertai dengan pertikaian tidak langsung.
Perebutan jabatan terjadi dalam dinas kemiliteran. Jendral Leonel memiliki kedudukan yang baik dalam dinas kemiliteran. Ia punya wewenang untuk menentukan kebijakan yang menyangkut keamanan negara. Atas dasar kedudukan itu ia memiliki kecenderungan mempertahankan jabatan ini. Segala usaha dilakukan termasuk pembunuhan yang memiliki motif politik. Ia berusaha menghambat saingan-saingannya, termasuk mencurigai bawahannya yang punya reputasi dan karier yang baik.
Dalam novel tersebut diceritakan bahwa kematian ayah Krosy sesungguhnya masih misterius. Kolonel Krosy menduga bahwa kematian ayahnya karena dibunuh oleh Jendral Leonel. Hal ini dilakukan karena ayah Krosy punya peluang yang baik untuk menjadi saingan.
Seluruh reputasi Leonel sangat terpuji, kecuali dalam kasus ayah Krosy. Semua orang menyadari bahwa Leonel berada satu strip di bawahnya. Dan tak seorang pun dapat membayangkan apa yang bisa atau mungkin mendorong Leonel untuk membetot teman seperjuangannya itu ---seandainya memang Leonel yang bertanggung jawab. Krosy sendiri tak bisa memastikan. Ia sempat menyusun beberapa teori. Seandainya saja Leonel yang membunuh ayahnya, pastilah itu ia lakukan dalam keadaan terjepit, atas desakan orang lain. Atau semacam kekhilapan : yang kemudian terus-menerus disesalinya.
Ayah Krosy meninggal sebagai seorang pahlawan. Ia disergap di sebuah bukit dengan tiba-tiba oleh gerombolan Zabaza...Sejak itu Leonel memegang kekuasaan tertinggi di wilayah. (halaman 19-20).
Kematian Kolonel Krosy juga tidak terlepas dari persaingan jabatan ini. Kolonel Krosy punya reputasi yang baik dan menjadi calon untuk menduduki jabatan penting dalam dinas kemiliteran, bahkan mungkin lebih dari itu, yakni peluang untuk mendapatkan kedudukan yang punya wewenang untuk menentukan kebijakan secara luas. Selain peluang, ia juga mempunyai ambisi untuk memperoleh ke- dudukan yang baik tersebut.
Tak pelak lagi, ia menjadi calon yang paling meyakinkan untuk mengganti kedudukan jendral itu, apabila masa pensiunnya tiba. Tapi masih beberapa tahun lagi. Krosy hampir tak sabar. Ia ingin memegang pimpinan dan menentukan garis besar segala kebijaksanaan. Bukan hanya sebagai pelaksana semata-mata. (halaman 19)
Sejak kecil Krosy selalu bercita-cita mencapai puncak dari kekuasaan militer.... (halaman 19)
Kematiannya sesungguhnya bukan karena ditembak oleh Kropos, akan tetapi sengaja dibunuh oleh Jendral Leonel. Sewaktu Kropos menembaknya, Kolonel Krosy tidak mati. Ia sempat di bawa ke rumah sakit. Dokter Combla tidak sanggup untuk mengembalikan Kolonel Krosy seperti semula.
Krosy tidak mati karena tembakan saudara. Ia dibunuh oleh Leonel....(halaman 35)

3.2.2. Konflik Politik
Konflik politik dalam novel Nyali merupakan konflik yang dominan. Konflik tersebut meliputi hampir keseluruhan cerita. Konflik tercermin dalam tema, alur, penokohan dan latar. Analisis sosiologis terhadap novel Nyali dengan mengambil konflik politik meliputi penyebab terjadinya konflik, tipe konflik, struktur konflik, tujuan konflik, intensitas konflik, pengaturan konflik, serta konflik dan perubahan politik.
Novel Nyali mengisahkan pergolakan politik yang terjadi di sebuah negara. Negara ini senantiasa mengalami konflik yang tajam, pemberontakan dan kekerasan serta fragmentasi dalam tubuh militer. Hal ini disebutkan secara eksplisit oleh pengarangnya:

"....Baginda tahu sendiri selain Zabaza banyak sekali dendam, sengketa, keinginan membunuh yang ada di seluruh kerajaan...." (halaman 42)

Negara ini mengalami dua periode sejarah, yakni masa Orde Lama dan Orde Baru sejarah monarkhi dan Orde Baru untuk masa periode sejarah dengan sistem republik.
Orde Lama ditandai dengan sistem politik otokrasi tradisional atau monarkhi. Kepala negara adalah seorang raja (Baginda Raja). Sedangkan Orde Baru ditandai dengan sistem pemerintahan republik dengan presiden sebagai kepala negara. Konflik politik terjadi pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Konflik politik yang terjadi pada masa Orde Baru merupakan akibat dari konflik politik pada masa Orde Lama.

3.2.3. Penyebab Konflik Kondisi Yang Harus Ada Bagi Timbulnya Konflik
Kemajemukan struktur masyarakat, baik kemajemukan kultural maupun sosial. Kemajemukan sosial dan kultural ini dikategorikan sebagai kemajemukan horisontal (Surbakti, 1992: 151). Selain itu kemajemukan vertikal juga merupakan kondisi yang memungkinkan terjadinya konflik. Kemajemukan vertikal ditandai dengan struktur masyarakat yang ter- polarisasi menurut pemilikan kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan. Kemajemukan tersebut memungkinkan perbedaan kepentingan di antara kelompok-kelompok masyarakat. Kemajemukan horisontal kultural dapat menimbulkan konflik karena masing-masing unsur kultural berupaya mempertahankan identitas dan karakteristik budayanya dari ancaman kultur lain. Sedangkan kemajemukan horisontal sosial dapat menimbulkan konflik sebab masing-masing kelompok yang mendasarkan pekerjaan dan profesi serta tempat tinggal tersebut memiliki kepentingan berbeda bahkan saling bertentangan. Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik sebab sebagian besar masyarakat tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit kekayaan dan kekuasaan. Namun demikian, perbedaan-perbedaan masyarakat ini akan menimbulkan konflik apabila kelompok-kelompok tersebut memperebutkan sumber-sumber yang sama dan manakala terdapat benturan kepentingan. Taraf kepincangan distribusi yang diungkapkan oleh Jonathan H. Turner (Soerjono Soekanto, 1988: 66) merupakan pendapat yang punya kesejajaran dengan penyebab konflik di atas. Menurut Turner, taraf kepincangan pada distribusi sumber daya akan mempengaruhi keleluasaan bagian-bagian suatu sistem sosial untuk mengungkapkan konflik kepentingan.
Semakin tidak seimbang distribusi sumber daya langka dalam sebuah sistem, konflik kepentingan antara kelompok dominan dan subordinat dalam sebuah sistem semakin meningkat. Demikian pula dengan pendapat Coser yang menitik- beratkan pada sistem distribusi. Coser menyatakan bahwa penyebab terjadinya konflik adalah kondisi-kodisi yang menyebabkan ditariknya legitimasi dari sistem distribusi yang ada dan intensifikasi tekanan terhadap kelompok- kelompok tertentu yang tidak dominan (ibid: 93).
Maurice Duverger (1993) mengajukan penyebab konflik bertolak dari sudut pandang pelaku konflik. Menurut Duverger (1993: 174) penyebab antagonisme politik (konflik politik) meliputi sebab-sebab individual dan sebab- sebab kolektif. Sebab-sebab individual menurut Duverger, karena terdapat perbedaan bakat individual di antara manusia. Ia mendasarkan diri pada konsep-konsep biologi Charles Darwin tentang struggle for life yang menyatakan bahwa setiap individu harus bertempur melawan yang lain untuk kelangsungan hidup dan hanya yang paling mampu akan memenangkannya. Dari kecenderungan ini menjelma menjadi perjuangan untuk memuaskan kebutuhan manusia. Dalam arena politik hal ini menjadi perjuangan untuk posisi utama. Selain itu, dalam diri manusia terdapat naluri untuk berkuasa yang dianggap sebagai kecenderungan manusiawi yang fundamental. Ambisi individual ini merupakan faktor primer di dalam konflik politik. Konflik politik yang disebabkan oleh kolektif bertolak dari kondisi masyarakat. Di dalam masyarakat terdapat kelas-kelas sosial yang mempunyai perbedaan kepentingan. Kontradiksi yang tajam antara kelas sosial yang satu dengan kelas sosial yang lain mengakibatkan perjuangan kelas yang disertai dengan kekerasan. Perjuangan kelas merupakan bentuk konflik politik. Bentuk-bentuk konflik lainnya seperti konflik antara buruh dan pengusaha, petani dengan tuan tanah, konflik kelompok-kelompok ideologis menurut analisis ini adalah pencerminan dari perjuangan kelas.
Konflik politik dalam kerajaan yang diceritakan dalam novel Nyali terpolarisasi dalam kelompok-kelompok sosial yang memiliki perbedaan-perbedaan peran dan kepentingan. Dengan kata lain kondisi sosial dan kultural serta kondisi politiknya sangat majemuk. Struktur masyarakatnya terpolarisasi menurut kekayaan, pengetahuan dan kekuasaan. Sistem sosial dan struktur masyarakatnya belum stabil. Hal ini ditandai dengan tiadanya konsensus politik dan ideologis, yakni konsensus yang disepakati bersama dan dilaksanakan untuk kepentingan umum.
Kekuasaan dan wewenang merupakan sumber daya langka yang sering kali menjadi penyebab terjadinya konflik dan perubahan pola-pola yang telah melembaga. Distribusi sumber kekuasaan dalam negara tidak seimbang. Dalam negara dengan sistem politik otokrasi tradisional ke-kuasaan mutlak pada raja. Distribusi kekuasaan pada partai-partai politik tidak ada karena kerajaan tersebut tidak memiliki partai politik atau kelompok-kelompok korporatis yang bisa digunakan sebagai pengendali konflik politik, sehingga kelompok dominan dalam hal ini raja memiliki kekusaan mutlak (absolut). Adanya ketidakseim-bangan distribusi sumber kekuasaan ini merupakan penyebab terjadinya konflik politik.
Dalam negara ini terdapat tiga pihak yang terlibat dalam konflik. Pihak pertama adalah Baginda Raja. Kelompok kedua adalah gerombolan Zabaza. Pihak ketiga yaitu Jendral Leonel yang pada awalnya memanfaatkan kelompok kedua. Ketiga pihak tersebut mempunyai kepentingan yang berbeda dan masing-masing berusaha mewujudkan kepentingannya sehingga terjadi perbenturan kepentingan.
Baginda Raja mempunyai kepentingan untuk mempertahankan sistem sosial dan struktur masyarakat yang lama, yakni sistem pemerintahan kerajaan dan sistem perekonomian yang mengandalkan agraris. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam kerajaan ia memiliki kewenangan yang sah untuk menggunakan paksaan fisik dalam menyelesaikan konflik. Sarana paksaan fisik adalah tentara, intelejen, persenjataan, penjara, kerja paksa, pengadilan dan lain-lain.
Pihak kedua yakni gerombolan yang bernama Zabaza mempunyai tujuan mengadakan revolusi kepribadian, yakni mereka ingin menegakkan moral baru bagi masyarakat. Masyarakat yang dicita-citakan adalah semua orang menjadi hamba kerajaan yang baik. Setiap orang atau kelompok tidak memiliki ambisi dan kepentingan yang berbeda dengan kebijakan pemerintah. Dengan demikian pertentangan-perten- tangan dalam masyarakat bisa dihindarkan.
Gerakan gerombolan ini merupakan satu kelompok yang bersimpati terhadap pandangan sosial atau doktrin tertentu, yang mengaktualisasikan diri dalam konflik dengan bentuk pemberontakan. Gerakan ini memiliki ideologi tertentu yang berfungsi sebagai alat untuk menyatukan komunitas anggotanya dengan cara mendorong setiap anggota untuk menerima kekuasaan yang memerintahnya dan dengan mengembangkan rasa kepatuhan terhadap yang memerintah. Ideologi ini juga berfungsi sebagai tujuan perjuangan. Selain itu, ideologi ini bersifat doktriner yang mampu meningkatkan antusiasme dan komitmen untuk mendukung kegiatan politik. Doktrin ini menjanjikan bentuk alter- natif masyarakat baru yang menjadikan setiap warga negara menjadi hamba kerajaan yang baik untuk menggantikan bentuk masyarakat lama yang dikendalikan oleh kekuatan fasisme yang hirarkis dan otoriter. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa gerakan gerombolan ini adalah revolusioner, karena mempunyai tujuan mengadakan perubahan sosial. Menurut Surbakti (1992:71) sebuah gerakan revolusioner menekankan motivasi dan tindakan merealisasikan ide-ide revolusioner, sedangkan keberhasilan gerakan tersebut menjadi pertimbangan kedua. Motivasi untuk mencapai tujuan sangat kuat, apabila harapan keberhasilan sangat tinggi.
Pihak ketiga, yakni Jendral Leonel memanfaatkan kelompok pertama dan kedua demi meraih tujuan pribadi. Ia mempunyai ambisi untuk merebut kekuasaan dengan cara yang tidak sesuai dengan konsensus kerajaan. Ambisi untuk merebut kekuasaan ini menimbulkan konflik-konflik politik yang mendalam dan luas.
Kemungkinan terjadinya konflik politik semakin lebar jika negara tidak memiliki konsensus berupa konstitusi yang mengatur penyelesaian konflik. Dalam kerajaan ini tidak memiliki konsensus tersebut. Selain itu, cara yang dipergunakan oleh pihak yang bertikai memiliki konsekwensi timbulnya pertentangan yang bersifat kekerasan.
Ketiga pihak yang terlibat dalam konflik politik tersebut sama-sama mempunyai sumber kekuasaan. Baginda Raja mempunyai sumber kekuasaan karena kedudukannya sebagai raja yang memperoleh legitimasi karena tradisi. Kekuasaan dan peralihan kewenangannya yakni dengan diadakannya pemilihan umum yang berlangsung secara turun temurun. Pemimpin gerombolan Zabaza, yakni Kropos memiliki sumber kekuasaan potensial karena dia memiliki massa yang terorganisasi secara rapi dan berdisiplin tinggi. Ia menggunakan sumber kekuasaan tersebut untuk aktivitas politik berupa gerakan untuk mengadakan revolusi kepribadian dengan menggunakan cara-cara kekerasan seperti teror- isme dan kudeta berdarah. Dengan demikian, sumber kekuasaan tersebut menjadi kekuasaan aktual. Demikian halnya dengan Jendral Leonel. Ia memiliki sumber kekuasaan potensial karena kedudukannya sebagai panglima militer yang punya wewenang untuk mengatur kebijaksaan dalam bidangnya. Sebagai panglima militer berarti ia memiliki massa terorganisasi berupa tentara. Ia juga punya kekuasaan aktual karena dia telah menggunakan sumber-sumber kekuasaan di dalam kegiatan politik secara efektif. Setelah ia berhasil merebut kekuasaan dan menjadi pemimpin negara, ia memiliki kewenangan.
Berdasarkan penyebab konflik yang diajukan oleh Duverger, maka penyebab konflik politik dalam masyarakat yang dikisahkan oleh Nyali hanya memiliki relevansi dengan sebab-sebab individual. Dalam novel tersebut tidak digambarkan adanya kelas-kelas sosial seperti halnya dalam masyarakat industri. Masyarakat dalam kerajaan tesebut masih dalam tahap feodaltradisional sesungguhnya adalah negara yang berada dalam tahap feodalisme.

. Dalam masyarakat feodal tidak terdapat kelas-kelas sosial seperti konsep Marx, yakni kelas kapitalis dan buruh (proletar). Kelas borjuasi (kaum kapitalis) dan kelas proletar (buruh) hanya terdapat dalam masyarakat industri dengan sistem kapitalisme.Sebab-sebab individual tercermin dari ambisi-ambisi pribadi untuk berkuasa. Kolonel Krosy punya ambisi untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi. Jendral Leonel memiliki ambisi untuk merebut kekuasaan dan menggantikan sistem pemerintahan dan bentuk negara. Kepentingan pribadi ini didukung oleh sumber kekuasaan potensial berupa jabatannya sebagai panglima tertinggi dalam dinas ke- militeran.

3.2.4. Tipe Konflik
Dalam teori konflik politik dikenal dua tipe konflik. Paul Conn membuat kategori tipe konflik, yakni konflik positif dan konflik negatif (Surbakti 1992: 153). Yang dimaksud dengan konflik positif ialah konflik yang tidak mengancam eksistensi sistem politik, yang biasanya disalurkan lewat mekanisme penyelesaian konflik yang dise- pakati bersama dalam konstitusi. Sebaliknya konflik negatif ialah konflik yang dapat mengancam eksistensi sistem politik yang biasanya disalurkan lewat cara-cara nonkonstitusional seperti kudeta, separatisme, terorisme dan revolusi (Surbakti, 1992: 71). Kedua tipe konflik ini berkaitan dengan tipe masyarakat, yakni masyarakat yang mapan dan masyarakat yang belum mapan. Masyarakat yang mapan telah memiliki dan mendayagunakan struktur kelembagaan yang diatur dalam konstitusi. Sedangkan masyarakat yang belum mapan tidak memiliki struktur kelembagaan yang mendapat dukungan penuh dari seluruh masyarakat. Tipe konflik politik dalam novel Nyali dapat dikategorikan sebagai tipe konflik negatif. Konflik tersebut mengancam eksistensi sistem sosial dan politik serta struktur masyarakat. Apalagi pihak-pihak yang berkonflik menggunakan cara kekerasan untuk memperjuangkan kepen- tingannya dan mempertahankan sistem lama. Tipe konflik negatif juga mempunyai karakteristik dipergunakan cara- cara kekerasan oleh pihak yang bertikai seperti kudeta, separitisme, revolusi dan terorisme.
Konflik politik yang dalam novel tersebut tidak mungkin diselesaikan lewat mekanisme konstitusional karena tidak ada konstitusi dan konsensus yang disepakati oleh masyarakat dan mengatur penanganan konflik. Struktur masyarakat yang dikisahkan dalam novel tersebut adalah struktur masyarakat yang belum mapan atau belum stabil. Masyarakat yang belum stabil pada umumnya belum punya konsensus yang disepakati bersama sehingga sering dihadapkan pada konflik untuk memperebutkan atau memperjuangkan aspirasi dari kelompok-kelompok masyarakat. Tiadanya konsensus yang mampu mengakomodir dan mengatur kepen- tingan-kepentingan berbeda dari berbagai kelompok masyarakat semakin memperlebar konflik. Bagaimanapun negara harus mampu menampilkan diri sebagai pengemban kepentingaan umum dan mampu mengatasi kemajemukan dan antagonisme dalam masyarakat. Bagi kelompok dominan yang punya kewenangan dan kekuasaan berusaha mempertahankan sistem yang dipergunakan walau belum secara penuh mendapatkan legitimasi dari masyarakat yang diperintah. Kondisi seperti ini memungkinkan konflik berlangsung berkepanjangan dan punya konsekwensi lebih jauh yakni terancamnya sistem yang ada. Ke- tiadaan kelompok-kelompok korporatis atau partai yang bisa dipergunakan sebagai alat pengendali konflik akan cenderung memperparah kondisi ini.
Pihak-pihak yang bertikai menggunakan cara-cara kekerasan. Sekelompok masyarakat yang terorganisasi dalam sebuah gerombolan bernama Zabaza mempergunakan cara-cara terorisme dan kekerasan untuk mewujudkan tujuannya. Zabaza menekankan aspek paksaan fisik atau kekerasan sehingga cenderung mengarah pada pertentangan dan konflik yang berkepanjangan. Zabaza yang punya disiplin tinggi, terorganisasi secara rapi, punya pola kepemimpinan yang ketat dan hirarkis, memang sengaja dibentuk dengan menggunakan cara kekerasan untuk mencapai tujuan. Zabaza tidak meng- inginkan cara-cara damai tetapi menggunakan perang dan kekerasan untuk merombak masyarakat. Dengan kata lain Zabaza mencita-citakan revolusi kepribadian dengan tujuan agar setiap orang menjadi hamba kerajaan yang baik. Hal ini secara eksplisit disebutkan oleh pengarangnya :
"....Gerombolan ini tidak memiliki target merebut pemerintahan. Dia adalah usaha untuk menegakkan moral baru. Semacam revolusi kepribadian yang membuat setiap orang menjadi hamba kerajaan yang baik. Ini terjadi karena sekarang setiap orang sudah terlalu banyak bicara tentang kepentingan-kepentingannya. Dalam kelompok Zabaza, tidak ada lagi kepentingan pribadi. Setiap orang merasa dirinya alat...." (Halaman 65-67) Pihak kerajaan dalam hal ini tentara kerajaan tidak menggunakan cara lain dalam mengatur konflik ini. Tentara yang dipimpin oleh Jendral Leonel juga menggunakan cara kekerasan dalam rangka membasmi gerombolan Zabaza. Beberapa bawahannya ada yang mengusulkan diadakan perundingan, tetapi Jendral Leonel tidak setuju.
Teror dan pembunuhan politik yang dilakukan gerom- bolan Zabaza sangat kejam dan tanpa kompromi. Zabaza membunuh Kolonel Krosy yaitu bekas atasan Kropos dalam dinas kemiliteran. Demikian juga dengan penyerbuan ke sebuah desa yang merupakan pertahanan paling kuat tentara kerajaan, yaitu Desa Tongtong. Desa tersebut dihancurkan dan penduduknya dibinasakan sama sekali.
Pada saat yang tepat Zabaza melakukan penyerbuan ke istana, tapi mampu digagalkan oleh tentara kerajaan. Ini memang sesuai dengan rencana Jendral Leonel. Ia menghendaki Zabaza menyerbu istana dan ia menghendaki Baginda Raja terbunuh. Lalu tentara akan menumpas seluruh anggota gerombolan.
Pada akhirnya konflik ini mengancam eksistensi sistem politik yang lama yaitu sistem otokrasi tradisional yang mengandalkan sistem agraris. Negara dalam bentuk kerajaan ini diubah secara total dan menjadi republik seperti yang dikehendaki Jendral Leonel.

3.2.5. Stuktur Konflik
Menurut Paul Conn (Surbakti, 1992: 154) struktur konflik dibedakan menjadi dua, yakni konflik menang-kalah (zero-sum conflict) dan konflik menang-menang (non zero- sum conflict). Konflik memang-kalah ialah situasi konflik yang bersifat antagonistik sehingga tidak memungkinkan tercapainya suatu kompromi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Ciri utama dari struktur konflik menang-kalah adalah tidak mungkin diadakan kerja sama dan kompromi. Sedangkan konflik menang-menang memiliki ciri bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam konflik masih mungkin untuk mengadakan kompromi dan bekerja sama sehingga semua pihak akan mendapatkan bagian dari konflik tersebut. Kompromi adalah salah satu fungsi politik yang utama. Dalam masyarakat demokratis, lembaga-lembaga disesuaikan dengan tujuan ini. Proses-proses demokratis tidak saja berlaku luntuk mengungkapkan pergolakan politik oleh cara- cra non violent; mereka juga ditentukan untuk memutuskan konflik dengan kompromi (Duverger, 1993:346).
Konflik politik yang terjadi di sebuah negara yang diceritakan dalam novel Nyali ini memiliki struktur konflik menang-kalah. Situasi konflik tidak memungkinkan diadakannya kompromi dan kerja sama. Atau dengan kata lain konflik ini bersifat antagonistik. Dalam konflik seperti ini hanya terdapat dua pilihan, yakni ada pihak yang menang dan pihak lain mengalami kekalahan. Gerombolan Zabaza tidak punya keinginan untuk mengadakan kompromi. Sesungguhnya Baginda Raja menawarkan diadakannya kompromi agar tidak terlalu banyak jatuh korban. Akan tetapi Jendral Leonel yang sesunggguhnya merupakan otak dari seluruh rencana tidak menghendaki cara-cara damai melalui perun- dingan.

"....Saya tak ingin jalan damai, tapi jalan yang berdarah. Bukan karena haus darah, tapi karena segala kekerasan ini akan mengatur suasana tertentu. Dia merupakan satu proses yang akan berguna untuk menyeleksi rakyat kita menuju hari depan yang gemilang. Di masa depan, bayangan saya kerajaan ini akan menjadi satu republik dengan rakyat pilihan...." (Halaman 41)

Karena tidak mungkin diadakan kompromi maka jalan satu-satunya adalah ada pihak yang memenangkan konflik dan pihak lain terkalahkan. Ketika terjadi kudeta oleh gerombolan Zabaza, Baginda Raja beserta keluarganya terbunuh. Dalam cerita ini tidak disebutkan siapa yang sesungguhnya membunuh keluarga raja. Zabaza sesungguhnya tidak punya niat untuk membunuh Baginda Raja. Kemudian tentara kerajaan yang dipimpin langsung oleh Jendral Leonel berhasil menumpas gerombolan, walau pemimpin gerombolan yakni Kropos berhasil lolos. Dengan tertumpasnya gerombolan Zabaza berarti gerombolan ini merupakan pihak yang kalah. Akan tetapi pihak kerajaan dalam hal ini Baginda Raja beserta seluruh keluarganya juga merupakan pihak yang kalah. Pihak yang menang adalah Jendral Leonel. Dengan kata lain ia berhasil mengalahkan kedua lawannya untuk mencapai tujuan yakni merebut kekuasaan dengan cara memanipulasi keadaan yang sesungguhnya. Hal ini sesuai dengan rencana Jendral Leonel. Ia dapat dikatakan pihak yang menang dan memperoleh jalan untuk merebut kekuasaan dan mengganti sistem negara yang otokrasi tradisional dengan sistem republik dengan program industrialisasi yang menggantikan sistem agraris.

3.2.6. Tujuan Konflik
Secara umum tujuan konflik dapat dirumuskan sebagai mendapatkan dan atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting. Menurut Surbakti (1992: 163) tujuan konflik dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik memiliki tujuan yang sama, yakni sama- sama berupaya mendapatkan;
2. Disatu pihak hendak mendapatkan, sedangkan di pihak lain berusaha keras mempertahankan apa yang dimiliki.
Sesungguhnya pihak yang berkonflik ada tiga, yakni gerombolan Zabaza, Jendral Leonel dan Baginda Raja. Gerombolan Zabaza mempunyai tujuan untuk menegakkan moral baru, untuk mengadakan revolusi kepribadian yang menjadikan setiap warga negara menjadi hamba kerajaan yang baik. Ia tidak punya ambisi untuk merebut pemerintahan. Ia juga tidak punya tujuan membunuh Baginda Raja beserta keluarganya. Dengan adanya Zabaza tentara kerajaan yang sebelumnya mempunyai moral yang kurang baik menjadi bersatu karena dihadapkan pada musuh yang kuat.
Mengingat Zabaza tidak memiliki tujuan merebut ke- kuasaan maka ia bisa dipandang sebagai kelompok penekan (pemaksa). Menurut Duverger (1993: 292) kelompok penekan tidak berusaha untuk merebut kekuasaan atau berpartisipasi di dalam pelaksanaan kekuasaan; tujuannya adalah mempengaruhi mereka yang memegang kekuasaan, membawakan "tekanan" yang harus dipikulnya.
Sedangkan pihak kedua adalah Baginda Raja. Ia punya keinginan untuk tetap mempertahankan sistem lama, yakni sistem kerajaan (monarkhi) yang mengandalkan sistem per- ekonomian agraris. Ia memiliki dasar legitimasi bagi kewenangan untuk berkuasa. Legitimasi yang mendasari kewenangan Baginda Raja adalah sah, karena terdapat konsensus dalam masyarakat berupa tradisi peralihan kewe- nangan secara turun temurun.
Sedangkan pihak ketiga adalah Jendral Leonel. Ia menghendaki bentuk legitimasi yang lain, yakni peralihan kewenangan secara demokratis melalui pemilihan umum. Negara yang diinginkan Jendral Leonel adalah negara re- publik. Dengan kata lain ia memiliki kepentingan untuk merebut kekuasaan dan mengganti sistem otokrasi tradisi- onal dengan sistem republik.
Jadi apabila disimpulkan, dalam konflik ini ada pihak yang menginginkan perubahan dan ada pihak lain yang mempertahankan sistem dan struktur sosial masyarakat yang lama. Pada akhirnya konflik dimenangkan oleh pihak ketiga yang memperalat pihak pertama. Gerombolan Zabaza diciptakan oleh Jendral Leonel sebagai alat untuk meraih tujuannya. Ketika gerombolan sudah besar, Zabaza diserahkan kepada Kropos. Ia juga menyalahgunakan otoritas yang dimilikinya. Otoritas Jendral Leonel yang besar terhadap kontrol kekuatan militer cenderung menjadikan militer tidak berada dalam kekuasaan Baginda Raja. Leonel menyalahgunakan otoritas ini untuk kepentingan pribadinya, akibatnya militer dijadikan senjata politik oleh Jendral Leonel untuk melakukan kudeta dengan cara yang halus dan melimpahkan kesalahan tersebut kepada gerombolan Zabaza. Selanjutnya gerombolan Zabaza ditumpas sampai habis.

3.2.7. Intensitas Konflik
Intensitas konflik lebih merujuk pada besarnya energi (ongkos) yang dikeluarkan dan tingkat keterlibataan partisipan dalam konflik. Menurut Surbakti (1992: 156-158) intensitas konflik ditentukan oleh berbagai faktor yaitu:
1. Konflik akan cenderung intens apabila dari stratifikasi sosial ekonomi, pertentangan antara pihak- pihak yang berkonflik mencakup pelbagai jenis.
2. Terdapat kelas yang dominan dalam industri.
3. Apabila pihak yang berkonflik menilai tidak mungkin terjadi peningkatan status bagi dirinya.
4. Besar kecilnya sumber-sumber yang diperebutkan dan tingkat resiko yang timbul dari konflik tersebut. Semakin besar sumber-sumber yang diperebutkan, maka konflik akan semakin intens. Demikian pula dengan resiko. Semakin besar tingkat resiko yang akan ditimbulkan maka konflik akan semakin intens.
Coser (Soejono Soekanto, 1988: 94) mengajukan proposisi intensitas konflik sebagai berikut:
 Semakin disadarinya kondisi yang menyebabkan pecahnya konflik, maka konflik semakin intens.
 Semakin besar keterlibatan emosional peserta dalam konflik, maka konflik semakin intens.
 Semakin ketat struktur sosial, tidak tersedianya alat yang melembaga untuk menyerap konflik dan ketegangan, konflik semakin intens.
 Semakin besar perlawanan kelompok-kelompok dalam konflik terhadap kepentingan objektif mereka, maka konflik semakin intens.
Secara kronologis konflik politik dalam novel Nyali semakin intens. Faktor meningkatnya intensitas konflik adalah sumber yang diperebutkan yakni kekuasaan. Kekuasaan merupakan sumber yang sangat besar dan langka. Demikian juga dengan resiko yang akan ditanggung. Masing-masing pihak yang bertikai akan memiliki resiko yang besar apabila kalah dalam konflik. Baginda Raja akan terguling dari kekuasaannya jika ia kalah. Demikian juga dengan gerombolan Zabaza. Apabila gerombolan ini kalah maka resikonya adalah tidak tercapai cita-citanya dan akibat lebih jauh adalah kehancuraan bagi gerombolan itu. Sedangkan bagi Jendral Leonel kekalahan dalam konflik akan berakibat pada hancurnya seluruh reputasi dan kemungkinan mati atau dipenjara seumur hidup. Karena itu konflik semakin intens.
Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik politik tersebut telah menyadari kondisi objektif masyarakat, terutama kondisi yang menyebabkan terjadinya konflik. Masyarakat tersebut memiliki struktur yang ketat dan tidak memiliki sarana atau lembaga-lembaga politik dan konstitusi untuk menyerap konflik. Demikian juga dengan keterlibatan emosional dan tingkat perlawanan kelompok-kelompok dalam konflik yang semakin tinggi, sehingga konflik semakin intens.
Keterlibatan emosional peserta konflik sangat besar. Gerombolan Zabaza mempunyai ideologi yang sangat dipatuhi oleh setiap anggotanya. Mereka bersedia mati demi ke- muliaan tujuan. Apapun dilakukan dengan sikap patuh tanpa sedikit pun merasa gentar. Demikian juga dengan tekad Jendral Leonel. Ia bertekad untuk menghancurkan gerombolan Zabaza dengan kekerasan. Jendral Leonel tidak menghendaki jalan damai. Keterlibatan emosional yang besar dari pihak- pihak yang bertikai ini semakin meningkatkan intensitas konflik. Hal ini berakibat semakin besar perlawanan masing-masing kelompok yang terlibat dalam konflik politik. Gerombolan Zabaza terus-menerus meningkatkan perla- wanannya dengan menghancurkan kubu-kubu pertahanan tentara kerajaan. Di pihak tentara kerajaan juga meningkatkan pertahanannya dan perlawanannya terhadap gerombolan Zabaza. Besarnya tingkat perlawanan ini juga menjadi faktor semakin intensnya konflik politik tersebut.

3.2.8 Pengaturan Konflik
Pengaturan konflik merujuk pada bentuk-bentuk pengendalian konflik yang lebih diarahkan pada manifestasi konflik daripada sebab-sebab konflik. Dengan asumsi konflik tidak akan dapat diselesaikan dan dibasmi maka konflik dapat diatur saja sehingga konflik tidak mengakibatkan perpecahan masyarakat (Surbakti, 1992: 160). Ralf Dahrendorf menyebutkan tiga bentuk pengaturan konflik (ibid). Pertama bentuk konsiliasi seperti parlemen atau kuasi-parlemen yang membuka kemungkinan semua pihak berdiskusi dan berdebat secara terbuka dan mendalam untuk mencapai kesepakatan tanpa ada pihak-pihak yang memonopoli pembicaraan atau memaksakan kehendak. Kedua, bentuk me- diasi, yakni kedua pihak yang berkonflik sepakat mencari nasihat kepada pihak ketiga (sebagai mediator) tetapi nasihat ini tidak mengikat. Ketiga bentuk arbitrasi, yakni kedua pihak sepakat untuk mendapatkan keputusan akhir yang bersifat legal sebagai jalan keluar konflik pada pihak ketiga sebagai arbitrator. Dan
metode pengaturan konflik yang dikemukakan ilmuwan lain lebih melihat pengaturan konflik yang cenderung bersifat kekerasan (political violence).
























BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Konflik merupakan fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat. Konflik bisa terjadi dalam hubungan proses produksi yang termanifestasikan dalam pemogokan buruh yang memiliki tuntutan ekonomis berupa kenaikan upah dan perbaikan kondisi kerja. Pertikaian antar kelompok etnis yang berbeda dalam memperebutkan sumber yang sama juga tidak jarang terjadi dalam masyarakat yang mejemuk. Demikian juga konflik yang memiliki motif keagamaan. Pertentangan antara kelompok keagamaan yang satu dengan kelompok ke- agamaan yang lain sering kali terjadi, karena masing- masing berusaha mempertahankan kemurnian ajaran yang diyakininya. Sedangkan dalam kehidupan politik kehidupan masyarakat sering dihadapkan pada konflik dalam rangka untuk mendapatkan dan atau memperjuangkan sumber daya langka yang tidak jarang disertai dengan kekerasan.
Dalam novel Nyali karya Putu Wijaya, konflik yang dominan adalah konflik politik. Namun demikian konflik sosial dalam novel tersebut juga dianalisis karena konflik politik dan konflik sosial dalam novel Nyali saling berkaitan. Konflik sosial merupakan akibat dari terjadinya konflik politik dan mempunyai pengaruh terhadap situasi politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar