ngepeter's face

ngepeter's face
wajah orang-orang ruwet

Kamis, 05 Mei 2011

ANALISIS UNSUR INSTRINSIK CERPEN "MATA SULTONI" KARYA ADEK ALWI

BAB 1
PENDAHULUAN

Pada hakikatnya cerita pendek, atau yang lebih populer dengan akronim cerpen, merupakan salah satu jenis fiksi yang paling banyak ditulis orang. Hampir setiap media massa yang terbit di Indonesia menyajikan cerpen setiap minggu. Majalah-majalah hampir selalu memuat satu atau dua cerpen. Seolah-olah tanpa memuat cerpen, isi majalah itu tidak lengkap. Bahkan, pemancar-pemancar radio siaran juga mempunyai rubrik cerpen yang diasuh secara berkala. Seolah-olah cerpen telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Cerpen mempunyai pembaca dan pendengar yang disiarkan melalui radio. Bukan tidak mungkin ada penggemar berat cerpen. Ini terbukti dengan adanya penerbit yang sengaja menerbitkan kumpulan cerpen berbentuk majalah secara berkala dan mampu terbit terus-menerus.
Banyak orang mendefinisikan cerita pendek. Mencari hakekat cerita pendek tak bisa ditemukan dengan sebuah definisi, akan tetapi dengan perbandingan-perbandingan orang lebih mudah memahami sebuah hakekat cerita pandek. Hanya dengan melihat fisiknya dan bentuknya yang pendek saja orang tidak bisa menetapkan bahwa itu sebuah cerpen.
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas mengatakan bahwa cerpen adalah suatu bentuk prosa naratif fiktif. Cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi yang lebih panjang, seperti novella (dalam pengertian modern) dan novel. Karena singkatnya, cerita-cerita pendek yang sukses mengandalkan teknik-teknik sastra seperti tokoh, plot, tema, bahasa dan insight secara lebih luas dibandingkan dengan fiksi yang lebih panjang. Ceritanya bisa dalam berbagai jenis.
Menurut Aoh. KH, (2008 : 24 – 25 ), mendefinisikan bahwa cerpen adalah salah satu ragam fiksi atau cerita rekaan yang sering disebut kisahan prosa pendek. Dan masih banyak sastrawan yang merumuskan definisi cerpen. Rumusan-rumusan tersebut tidak sama persis, juga tidak saling bertentangan satu sama lain. Hampir semuanya menyepakati pada satu kesimpulan bahwa cerita pendek atau yang biasa disingkat cerpen adalah cerita rekaan yang pendek.
Sebagian orang mengatakan cerita pendek adalah cerita yang selesai dibaca 10 menit hingga setengah jam, atau sekali duduk di kereta api, atau terdiri dari kurang lebih 5000 kata, bahkan ada juga yang mendefinisikan hingga 30.000 kata. Sebagian orang lagi mengatakan cerpen adalah cerita yang berbentuk naratif. Jadi cerpen bukan argumentasi atau analisa atau deskripsi. Akan tetapi bentuk naratif yang pendek saja belum tentu cerpen. Bisa jadi hanya sebuah prosa, cerita fable, bahkan berita, sketsa,dan kisah perjalanan juga berbentuk naratif. Di dalamnya ada penuturan yang berurutan dan hidup, dan berdasarkan hal yang benar-benar ada. Sedangkan cerpen tidak bergantung sama sekali pada aktualitasnya. Cerpen adalah fiksi yang berarti ciptaan atau rekaan. Meskipun demikian sebuah cerpen harus berdasarkan realita.
Dalam mengalisis sebuah cerita pendek yang berjudul “Mata Sultani” terlebih dahulu akan dianalisis kelemahan dan kelebihannya.
Kelemahan cerpen berjudul “Mata Sultani” karya Adek Alwi ini, ada beberapa bagian yang tidak serta merta bisa langsung dipahami, kecuali mungkin dengan dibaca berulang-ulang, pada cerpen tersebut penulis tidak menceritakan secara detail penokohannya serta alurnya pun juga susah dipahami.
Kelebihan cerpen berjudul “Mata Sultani” karya Adek Alwi ini adalah dengan bahasa yang mudah pengarang dapat membuat pembaca penasaran akan cerita yang disajikan pada cerpen tersebut. Untuk itulah, sebagai salah satu upaya membantu memahami cerpen, saya bermaksud menganalisis cerpen dengan pendekatan struktural. Melalui pendekatan struktural, semoga pesan-pesan yang tersirat maupun yang tersurat dalam cerpen “Mata Sultani” dapat dipahami oleh pembaca cerpen tersebut serta dapat menggali nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Sedangkan tujuan penulis dalam menganalisis cerpen ini adalah selain ceritanya menarik juga banyak hal yang dapat kita pelajari dari cerpen tersebut.



BAB II
LANDASAN TEORI

A. Pengertian Tema
Istilah tema muncul menurut Scarbach berasal dari bahasa Latin yang berarti “tempat meletakkan suatu perangkat”. Karena tema adalah ide yang mendasar suatu cerita sehingga berperan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang dipaparkannya (Aminuddin, 2000 : 91)
Menurut Holmon 1981:443 tema merupakan gagasan sentral yang mencakup permasalahan dalam cerita, yaitu suatu yang akan diungkapkan untuk memberikan arah dan tujuan cerita karya sastra.
Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung didalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan” / perbedaan” menurut Hartoko dan Rahmanto (1986 : 142 )
Dari beberapa pengertian tema diatas, penulis lebih setuju dengan pendapat Holmon yang mengatakan bahwa tema merupakan gagasan sentral yang mencakup permasalahan dalam cerita, yaitu suatu yang akan diungkapkan untuk memberikan arah dan tujuan cerita karya sastra.

B. Pengertian Setting atau tempat peristiwa
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa – peristiwa yang diceritakan ( Abrams, 1981 : 175 )
Setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis (Aminuddin, 2000: 67).
Setting juga mampu menuansakan suasana-suasana tertentu. Suasana tertentu akibat penataan setting oleh pengarangnya itu lebih lanjut juga akan berhubungan dengan suasana penuturan yang terdapat dalam suatu cerita, suasana penuturan itu sendiri dibedakan antara tone sebagai suasana penuturan yang berhubungan dengan sikap pengarang dalam menampilkan gagasan atau ceritanya dengan mood yang berhubungan dengan suasana batin individual pengarang dalam mewujudkan suatu cerita (Aminuddin, 2000:69)
Dari beberapa pengertian setting atau alur diatas, penulis lebih setuju dengan pendapat Aminuddin, 2000: 67 yaitu setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis.

C. Pengertian Penokohan
Menurut Jones 1998:165 penokohan adalah gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
Abrams ( 1981 : 20 ), penokohan adalah orang yang ditampikan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang di ekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Dari beberapa pengertian penokohan diatas, penulis lebih setuju dengan pendapat Menurut Jones 1998:165 yang berpendapat bahwa penokohan adalah gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.

D. Pengertian Plot atau alur
Forster (1970), plot adalah peristiwa – peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas.
Alur atau plot adalah suatu cerita yang saling berkaitan secara kronologis untuk menunjukkan suatu maksud jalan cerita yang ada (Dick Hartoko, 1948:149)
Adapun jenis alur bisa dibedakan atas kriteria urutan waktu adalah sebagai berikut:
 Alur lurus atau maju (progresif) yaitu peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis artinya peristiwa yang pertama diikuti oleh peristiwa-peristiwa kemudian.
 Alur mundur atau sorot-balik (regresif) yaitu peristiwa-peristiwa yang dikisahkan tidak bersifat kronologis, ceriata tidak dimulai dari tahap awal, melainkan dari tahap tengah bahkan tahap akhir.
 Alur campuran kedua alur baik alur lurus maupun mundur.
Jadi sifat alur ada kalanya:
 Terbuka. Jika akhir cerita merangsang pembaca untuk mengembangkan jalan cerita,di samping masalah dasar persoalan.
 Tertutup. Akhir cerita tidak merangsang pembaca untuk meneruskan jalan cerita.
 Campuran keduanya.
Dari beberapa pengertian plot atau alur diatas, penulis lebih setuju dengan pendapat Dick Hartoko, 1948:149 yang mengataka bahwa alur atau plot adalah suatu cerita yang saling berkaitan secara kronologis untuk menunjukkan suatu maksud jalan cerita yang ada.


BAB III
ANALISIS CERPEN

2. Analisis unsur intrinsik cerpen “Mata Sultani” karya Adek Alwi
Berikut akan diuraikan analisis cerpen yang berjudul “Mata Sultani” dengan mengidentifikasi dan mendeskripsikan hubungan antar unsur instrinsik cerpen yang dimaksud.
2.1. Tema
Dari pengertian tentang tema diatas dapat dijelaskan bahwa tema yang diangkat dalam cerpen Mata Sultani adalah kehilangan. Dari permasalahan-permasalahan yang timbul sejak awal cerita sudah nampak jelas bahwa aku (dalam cerpen Mata Sultani) beserta kawan-kawan lainnya saling menanyakan keberadaan teman semasa kecilnya itu. Hal ini terlihat dari cuplikan cerpen berikut:

Kepada mereka, bila aku pulang ke kota kami selalu kutanyakan kawan-kawan masa kecil itu, tetapi tak banyak lagi kabar gembira aku peroleh. Kawan-kawan lama kami jarang pulang, bahkan banyak yang tidak pulang sejak merantau-belasan atau puluhan tahun yang silam. “Seperti ada dan tiada, Nius,” jawab Tum menampakkan senyum yang ganjil. Seperti orang-orang di dalam mimpi.”

“Bagaimana kabar Sultani? Di mana dia?” tanyaku pada kawan-kawan dikota kelahiran. Mereka menggeleng. “Itulah,” sahut Tum, kembali menampakkan senyum yang ganjil. “Banyak kawan kita serasa ada dan tiada, Nius. Bak orang-orang dalam mimpi. Tidak kecuali sultani.”

“Kepada kawan-kawan yang tiba dari rantau kami juga bertanya kalau-kalau mereka mendengar di mana Sultani, Nius. Tetapi mereka pun tidak tahu,” kata Amril, melihat aku tak henti menanyakan kawan masa kecil itu tiap pulang ke kota kelahiran.

Dari cuplikan cerpen diatas dapat disimpulkan bahwa tema pada cerpen tersebut adalah pencarian seorang teman yang hilang selama bertahun-tahun yang telah lama hilang dan bahkan tak kunjung pulang ke kampung halaman.

2.2. Setting atau Latar
Setting atau latar tempat peristiwa cerpen tersebut, berada pada sebuah kota kelahiran aku(Nius) dan kawan-kawannya. Hal tersebut dapat diamati berdasarkan cuplikan cerpen berikut:

Kepada mereka, bila aku pulang ke kota kami selalu kutanyakan kawan-kawan masa kecil itu, tetapi tak banyak lagi kabar gembira aku peroleh. Kawan-kawan lama kami jarang pulang, bahkan banyak yang tidak pulang sejak merantau-belasan atau puluhan tahun yang silam. “Seperti ada dan tiada, Nius,” jawab Tum menampakkan senyum yang ganjil. Seperti orang-orang di dalam mimpi.”
“Hanya si Cudik, si Talib dan si Tunik yang acap pulang. Paling tidak dua atau tiga tahun sekali ada mereka pulang,” tambah Amril, yang meneruskan usaha keluarga membuka kedai kopi di simpang jalan dekat pasar. Kalau aku pulang, di kedai kopi itu kami bercakap-cakap mengenang kawan lama serta kota kami yang telempap tetapi menyimpan sifat-sifat aneh yang tak terduga. Bahkan mengerikan.
“Si Cudik kini di Lubuk Sikaping,” Biju menerangkan dengan gembira. Tak lama lagi pensiun. Si Talib di Dumai, sudah bercucu satu, si Tunik buka lepau nasi di Muaro Bungo. Dua lepau nasinya sekarang, Nius. Satu di Palembang. Hebat dia!”
“Ingat si Bun Kay?” tiba-tiba Tum menyela, setelah mengamati wajah-wajah tak kukenal yang lalu lalang di luar kedai kopi Tum. Waktu terus berjalan dan orang-orang lahir, dewasa atau jadi tua, kendati kota kami tetap saja setelempap.
“Tentu! Kubilang. Di mana dia?” tanyaku antusias. Bun satu-satunya sahabat cina kami di waktu kecil. Dia dan keluarganya tergolong aneh, akrab dengan pribumi. Ayah Bun tukang gigi, ibunya berjualan kue mohok alias bakpau. Di kota kami orang Cina tidak mampu bersaing di pasar dengan pedagang pribuni tetapi tidak tertandingi membuat kue, sebagai grosir roti da permen, lebih-lebih tukang gigi. Mereka pemilik satu-satunya bioskop dan dua studio foto yang ada di kota kami.
“Bun di Medan jadi dokter,” jawab Tum. “Pernah sekali datang waktu mau ke Padang melihat kakaknya. Berubah sekarang, Nius. Kami ajak bermalam tidak mau. Tapi kami kawani dia melihat bekas rumah orangtuannya.”

Selain itu(latar tempat) cerpen tersebut juga menggunakan latar waktu yang menceritakan tentang sebuah peristiwa ditahun 1960an. Hal itu juga dijelaskan dalam kutipan sebagai berikut:

Dalam peristiwa dahsyat pertengahan 1960-an rumah orangtua Bun di Kebun Sikolos diobrak abrik massa, diduduki hingga kini. Mereka bilang ayah Bun penjual gigi dari Peking. Dulu kami sering bermalam di rumah itu. Pagi-pagi terdengar suara sandal ibu Bun berlosoh-losoh mendekati pavilion tempat kami tidur, mengantar kue mohok hangat-hangat. “Tidak halam, tidak halam! Enak laaa, tak pake babi laaa,” ia sondorkan nampan berisi mohok serta teh manis. Begitu sandalnya terlosoh pergi kue dan teh itu amblas ke perut kami.

Cuplikan lain juga terlihat pada dialog berikut:
Sewaktu prahara dahsyat pertengahan 1960-an melanda kota kami, dan orang bergegas lewat bergelombang-gelombang di muka rumah sambil berteriak-teriak, aku menghambur ke jalan. Tidak kuhiraukan himbauan ibu dan ayah. “Jangat ikut! Jangan ikut kau!” Aku terus berjalan di belakang gerombolan-gerombolan manusiayang riuh. Mereka menuju rumah Sultani, berteriak-teriak. Suara mereka teramat gaduh. Mereka melempar rumah itu dengan batu. Tahi kambing, tahi kuda dan entah dengan apa lagi.
Setting juga memiliki fungsi psikologis seperti akibat kecingkahakan atau keusilan Sultani yang telah membabat habis rambut aku hingga gundul membuat dendamnya membara. Hal ini terlihat dari cuplikan dialog cerpen berikut:
Bukan saja Bun, banyak kawan merasakan ulah Sultani. Aku malah tak sekali. Namun yang membuat dendamku membara ketika semua bulu di kepalaku dia babat. Jangan pula licin tandas bak kelapa, potong pendek bak tentara saja aku bosan. Sudah lama aku dambakan model rambut orang dewasa atau rambut abangku, Rustam. Tetapi, setiap usai dicukur kepalaku tetap mirip tentara atau anak kecil. Padahal selalu kuminta Mak Hasan mencukur seperti yang kuinginkan, dan tukang cukur langganan ayah itu pun ber-hm-hm sambil mendorong kepalaku kian kemari.
“Cukur sama sultani!” Biju menyarankan. “Rambutku dia cukur, Tunik juga. Rancak kan?” Seperti rambut Biju itu yang aku inginkan. Tak licin disekeliling kepala, tetap ditumbuhi rambut dua-tiga senti yang melingkar manis rapi disekitar telinga.
Aku serahkan kepalaku pada Sultani. Mulanya sungguh-sungguh dia. Uang sedianya diterima Mak Hasan kujanjikan kami bagi dua. “Seperti model rambut bang Rustam, kan?” Aku mengangguk. Pelan-pelan disentuh Sultani kepalaku. Suara gunting tak berdencing-dencing ganas. Mendesis desis lunak. Mataku merem melek, tidur-tidur ayam. Tetapi lama-lama kepalaku semakin dingin. Ketika kuraba, sebagian kepalaku sudah terkelupas bak ayam hemdak digulai!
“Tak ada jalan lain, terpaksa begitu!” Ditekan Sultani kepalaku dengan ujung telunjuk. “Tadi disini terlampau pendek, kuratakan. Eh, malah sebelah sini terlampau pendek. Sudahlah, sepekan rambutmu panjang lagi. Bagus juga kau gundul, seperti Yull Bryner kau!”
Sejak hari itu kami tak berteguran. Tepatnya, aku tidak mau bicara atau dekat-dekat dengan manusia cingkahak itu. Dia mendekat, aku menghindar atau pergi. Dia cerita begini-begitu aku buang muka. Lupa aku pada sifat baiknya yang setia kawan dan suka memberi. Dendamku laksana sumur tanpa dasar. Lebih-lebih waktu Sui Lin, suatu pagi, tersenyum melihat kepalaku yang plontos bak kelapa ketika aku nginap dirumah Bun. “Kepala ko Nius kenapa?” Alamak, mati awak rasanya menanggung aib!

Dari cuplikan cerpen diatas dapat disimpulkan bahwa setting atau latar peristiwa tersebut berada pada kota kelahiran, bahkan masing-masing tempat tinggal aku dan kawan-kawan dalam cerpen. Dalam cerpen tersebut juga terdapat setting waktu tepatnya pada tahun dimana sebuah peristiwa besar melanda kota kelahiran aku(Nius) dan juga kawan-kawannya. Selain itu, fungsi psikologis juga nampak dalam cerpen tersebut, dimana dendam membara menyelimuti aku kepada sobatnya yang telah hilang itu.

2.3. Penokohan
Tokoh-tokoh pada cerpen Mata Sultani adalah:
1. Tokoh Utama Cerpen Adalah Sultani
Tokoh Sultani dalam cerpen tersebut adalah lincah, lucu, pintar disekolah, dan juga cingkahak alias usil dan kurang ajar. Hal ini terlihat dalam cuplikan cerpen berikut:

Kawan masa kecil itu lincah, lucu, pintar disekolah. Dia kapten sepak bola. Juga pandai menjahit, mencukur, menyogok portir bioskop sehingga kami bisa menonton film 17 tahun ke atas yang dibintangi Sophia Loren. Kami diselundupkan portir ketika lampu bioskop padam. Membungkuk-bungkuk mencari kursi kelas 3 yang kosong, atau menjelepak duduk di lantai, berdebar-debar sekitar dua jam menyaksikan aksi Sophia Loren yang menggairahkan.

Cuplikan lain juga terlihat pada:
”Makan, makan! Tidak halam! Tak pake gigi babi laaa!” Sultani cengar-cengir tertawa-tawa menyindir, mengajak makan. Bun tertawa-tawa menyikat nasi goreng. Lalu ia sambar roti. Biju dan Tunik juga. Kami berebut. Sultani menarik piring roti kedalam sarung, mencangunginya seperti buang hajad. Saat dia letakkan ke meja tak seorangpun yang berselera menyentuh kecuali dia.
Tempo-tempo kawan itu, memang cingkahak, alias usil plus kurang ajar. Portir bioskop juga dia ulahi. Diantara lipatan uang sogokan dia selipkan duit buntung atau uang zaman jepang sehingga untuk beberapa waktu kami terpaksa puasa nonton film orang dewasa. Sultani malah tertawa-tawa makan uang haram itu. Dia pernah pula Buya Makruf, guru mengaji kami, terbungkuk-bungkuk keluar tempat wudu bercelana kolor dan dada bugil. Baju, kopyah, serta sarung beliau”terbang; ke halaman masjid ulah Sultani!
Suatu kali, ketika mandi-mandi dibatang air yang mengalir di kota kami Bun tiba-tiba terpekik. Ada yang menyentak ujung kulupnya dari bawah air. ”Ular! Ular!” Bun berteriak panik. Berenang kalang kabut ketepi mukanya pucat serupa mayat. Kepala sultani menyembul ditengah sungai. Terbahak-bahak seperti hantu air. ”Sunat Bun! Potong Bun! Terlalu panjang Bun!”
”Tidak sakit, bah!” Sultani meyakinkan bak tukang obat. ”Malah, tidak terasa. Babah mau coba? Sret, selesai!”
Ayah Bun terkekeh. Ibunya tersipu. Dan Bun di sunat. ”Sebetulnya telat Bun. Kelas enam disunat, jadi keras. Mestinya waktu kita kelas tiga,” ujar Sultani saat Bun meringis dan kami mendampingi kawan itu setiap malam. ”Tapi tak apa-apa terlambat daripada tidak. Iya kan, Bun?” Bun mengangguk lemah.
Setelah sembuh dan suatu petang Bun termangu dihalaman Masjid Jambatan Basi menanti kami usai mengaji, Sultani berkata: ”Sudah Bun, ikut mengaji saja. Biar aku yang ngajar. Sebulan ditanggung fasih, Bun!”
Sultani memang pandai mengaji dan ditunjuk Buya Makruf sebagai guru kecil. Kepandaian itu turun dari ibunya. Ibunya selalu mengaji tipa subuh. Suaranya merdu, tajwid dan qiraahnya elok. Tapi aku merasa, ajakan Sultani pada Bun karena dia ingin mengamangkan rotan didepan kawan itu. Dan sesekali, tentu saja, melecutkan ke kaki seperti dia lakukan pada kami selaku guru kecil yang cingkahak.
Bukan saja Bun, banyak kawan merasakan ulah Sultani. Aku malah tak sekali. Namun yang membuat dendamku membara ketika semua bulu di kepalaku dia babat. Jangan pula licin tandas bak kelapa, potong pendek bak tentara saja aku bosan. Sudah lama aku dambakan model rambut orang dewasa atau rambut abangku, Rustam. Tetapi, setiap usai dicukur kepalaku tetap mirip tentara atau anak kecil. Padahal selalu kuminta Mak Hasan mencukur seperti yang kuinginkan, dan tukang cukur langganan ayah itu pun ber-hm-hm sambil mendorong kepalaku kian kemari.

Dari cuplikan diatas dapat disimpulkan bahwasanya tokoh utama dalam cerpen tersebut adalah sangat usil, suka bergurau, sangat kurang ajar, tidak memandang siapa lawan keusilannya tersebut. Sultani dikatakan tokoh utama sebab tokoh Sultani paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, atau bahkan tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam cerita.

2. Tokoh Tambahan Disini Adalah Aku(Nius)
Tokoh Nius (Aku) dalam cerpen tersebut berwatak pendendam, romantis, perhatian, dan juga mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi.
Hal ini dapat diamati dari cuplikan cerpen berikut:

Bukan saja Bun, banyak kawan merasakan ulah Sultani. Aku malah tak sekali. Namun yang membuat dendamku membara ketika semua bulu di kepalaku dia babat. Jangan pula licin tandas bak kelapa, potong pendek bak tentara saja aku bosan. Sudah lama aku dambakan model rambut orang dewasa atau rambut abangku, Rustam. Tetapi, setiap usai dicukur kepalaku tetap mirip tentara atau anak kecil. Padahal selalu kuminta Mak Hasan mencukur seperti yang kuinginkan, dan tukang cukur langganan ayah itu pun ber-hm-hm sambil mendorong kepalaku kian kemari.
Bagiku, lebih menyenangkankalau yang mengantar kue adalah Sui Lin, adik Bun. Pagi-pagi Lin terlihat segar. Pipinya putih kemerahan serupa jambu air. Matanya tak terlalu sipit. Rambut ekor kuda. Suara Lin halus: “Ko Bun! Engko Bun!” Dadaku berdebar mendengar suara itu, juga ketukan jari-jarinya yang mungil di pintu. Kelas 6 SD kurasakan gejolak cinta monyet mengalir deras terhadar Lin, adik kelas kami.

“Bagaimana kabar Sultani? Di mana dia?” tanyaku pada kawan-kawan dikota kelahiran. Mereka menggeleng. “Itulah,” sahut Tum, kembali menampakkan senyum yang ganjil. “Banyak kawan kita serasa ada dan tiada, Nius. Bak orang-orang dalam mimpi. Tidak kecuali sultani.”

Sewaktu prahara dahsyat pertengahan 1960-an melanda kota kami, dan orang bergegas lewat bergelombang-gelombang di muka rumah sambil berteriak-teriak, aku menghambur ke jalan. Tidak kuhiraukan himbauan ibu dan ayah. “Jangat ikut! Jangan ikut kau!” Aku terus berjalan di belakang gerombolan-gerombolan manusia yang riuh. Mereka menuju rumah Sultani, berteriak-teriak. Suara mereka teramat gaduh. Mereka melempar rumah itu dengan batu. Tahi kambing, tahi kuda dan entah dengan apa lagi.
Dari cuplikan diatas dapat dikemukakan bahwa tokoh tambahan dalam cerpen tersebut adalah aku(Nius) yang mana tokoh tambahan tersebut kehadirannya lebih sedikit dari tokoh utama.

3. Tokoh Sederhana Seperti Tokoh Bun, Sui Lin, Tun Dan Juga Biju
Tokoh Bun dalam cerpen berwatak penakut. Hal ini terlihat dalam cuplikan cerpen berikut:

Suatu kali, ketika mandi-mandi dibatang air yang mengalir di kota kami Bun tiba-tiba terpekik. Ada yang menyentak ujung kulupnya dari bawah air. ”Ular! Ular!” Bun berteriak panik. Berenang kalang kabut ketepi mukanya pucat serupa mayat. Kepala sultani menyembul ditengah sungai. Terbahak-bahak seperti hantu air. ”Sunat Bun! Potong Bun! Terlalu panjang Bun!”

Tokoh Sui Lin dalam cerpen tersebut berwatak perhatian. Hal ini terlihat pada cuplikan berikut:
Lebih-lebih waktu Sui Lin, suatu pagi, tersenyum melihat kepalaku yang plontos bak kelapa ketika aku nginap dirumah Bun. “Kepala ko Nius kenapa?” Alamak, mati awak rasanya menanggung aib!

Tokoh Tum dan Biju dalam cerpen tersebut adalah mudah berputus asa. Sebab mereka hampir menyerah dalam mencari keberadaan kawannya itu. Hal ini terlihat pada cuplikan berikut :
“Bagaimana kabar Sultani? Di mana dia?” tanyaku pada kawan-kawan dikota kelahiran. Mereka menggeleng. “Itulah,” sahut Tum, kembali menampakkan senyum yang ganjil. “Banyak kawan kita serasa ada dan tiada, Nius. Bak orang-orang dalam mimpi. Tidak kecuali sultani.”

”Sejak peristiwa itu tak ada yang tahu di mana Sultani dan keluargannya, Nius,” sambung Biju lesu. ”Sanak famili ayahnya dikampung juga tidak. Pernah kami tanya ke situ, hasilnya nihil. Berkabarpun mereka tak pernah sejak kejadian itu.”

Dari cuplikan diatas dapat disimpulkan bahwa tokoh Bun, Sui Lin, Tum dan Biju adalah sama-sama memiliki satu kualitas tertentu, artinya sama-sama memiliki sifat watak yang tertentu saja. Watak yang dimiliki tokoh sederhana cenderung datar, monoton, dan hanya mencerminkan satu watak tertentu.
4. Tokoh Bulat Adalah Cudik
Tokoh cudik bersikap baik hati karena tokoh Cudik dalam cerpen tersebut membawa berita atau informasi keberadaan Sultani sebenarnya. Hal ini terlihat dalam cuplikan cerpen berikut:

Cudik bilang mereka membawanya ke Singgalang Kariang. Menghabisinya. Membuang mayat orang tua itu ke Batang Anai. ”Seperti mencampakkan bangkai anjing!” cerita Cudik.
”Bagaimana kau tahu? Ikut aku ke situ?” Kami tanyai Cudik ramai-ramai.
Semua orang bilang begitu. Kalian tidak tahu mereka menghabisinya petang itu juga!” Cudik berkeras. ”Dan, kemarin pagi, ada yang menemukan sepasang mata di Batang Anai waktu menjala ikan. Hanya mata saja, dua buah. Tubuhnya tidak ada!”

Dari cuplikan diatas dapat dikemukakan bahwa Cudik memberikan informasi mengenai keberadaan kawan mereka yang dari semula atau dari awal cerita tidak ada yang mengetahui keberadaan kawannya tersebut. Dan dari Cudiklah keberadaan kawan mereka dapat terungkap. Hal ini dapat dikatakan bahwa Cudik adalah tokoh bulat yang membawa kejutan kepada kawan-kawannya yang lain.

2.4. Plot atau Alur
Plot atau alur yang digunakan pada cerpen tersebut adalah alur campuran. Dimana alur tersebut menceritakan kejadian pada masa sekarang juga kejadian empat puluh tahun yang silam. Hal ini didukung dengan cuplikan cerpen berikut:

Kepada mereka, bila aku pulang ke kota kami selalu kutanyakan kawan-kawan masa kecil itu, tetapi tak banyak lagi kabar gembira aku peroleh. Kawan-kawan lama kami jarang pulang, bahkan banyak yang tidak pulang sejak merantau-belasan atau puluhan tahun yang silam. “Seperti ada dan tiada, Nius,” jawab Tum menampakkan senyum yang ganjil. Seperti orang-orang di dalam mimpi.”

“Si Cudik kini di Lubuk Sikaping,” Biju menerangkan dengan gembira. Tak lama lagi pensiun. Si Talib di Dumai, sudah bercucu satu, si Tunik buka lepau nasi di Muaro Bungo. Dua lepau nasinya sekarang, Nius. Satu di Palembang. Hebat dia!”

Cuplikan lain juga terlihat pada:
Dalam peristiwa dahsyat pertengahan 1960-an rumah orangtua Bun di Kebun Sikolos diobrak abrik massa, diduduki hingga kini. Mereka bilang ayah Bun penjual gigi dari Peking. Dulu kami sering bermalam di rumah itu. Pagi-pagi terdengar suara sandal ibu Bun berlosoh-losoh mendekati pavilion tempat kami tidur, mengantar kue mohok hangat-hangat. “Tidak halam, tidak halam! Enak laaa, tak pake babi laaa,” ia sondorkan nampan berisi mohok serta teh manis. Begitu sandalnya terlosoh pergi kue dan teh itu amblas ke perut kami.

Sewaktu prahara dahsyat pertengahan 1960-an melanda kota kami, dan orang bergegas lewat bergelombang-gelombang di muka rumah sambil berteriak-teriak, aku menghambur ke jalan. Tidak kuhiraukan himbauan ibu dan ayah. “Jangat ikut! Jangan ikut kau!” Aku terus berjalan di belakang gerombolan-gerombolan manusiayang riuh. Mereka menuju rumah Sultani, berteriak-teriak. Suara mereka teramat gaduh. Mereka melempar rumah itu dengan batu. Tahi kambing, tahi kuda dan entah dengan apa lagi.

Dari cuplikan tentang alur diatas dapat diketahui bahwa alur yang mendasari cerpen tersebut adalah menggunakan alur campuran, dari kalimat yang diucapkan sudah jelas menandakan bahwa alur tersebut adalah campuran, baik dari masa sekarang maupun berpuluh tahun yang lalu.
BAB IV
PENUTUP

SIMPULAN
Dari analisis cerpen diatas, dapat saya simpulkan :
1. Tema
Tema cerpen Mata Sultani mengisahkan tentang (kehilangan) pencarian seorang teman semasa kecil yang telah lama tidak bertemu. Hal ini terlihat dalam cuplikan berikut:
“Kepada kawan-kawan yang tiba dari rantau kami juga bertanya kalau-kalau mereka mendengar di mana Sultani, Nius. Tetapi mereka pun tidak tahu,” kata Amril, melihat aku tak henti menanyakan kawan masa kecil itu tiap pulang ke kota kelahiran.

2. Setting Atau Latar
Setting atau latar cerpen tersebut adalah pada sebuah kota kelahiran. Serta setting waktu yang juga ditunjukkan dalam cerpen tersebut. Selain itu setting cerpen tersebut juga terdapat fungsi psikologis. Hal tersebut dapat diperoleh dari cuplikan berikut :
Kepada mereka, bila aku pulang ke kota kami selalu kutanyakan kawan-kawan masa kecil itu, tetapi tak banyak lagi kabar gembira aku peroleh. Kawan-kawan lama kami jarang pulang, bahkan banyak yang tidak pulang sejak merantau-belasan atau puluhan tahun yang silam. “Seperti ada dan tiada, Nius,” jawab Tum menampakkan senyum yang ganjil. Seperti orang-orang di dalam mimpi.”
Dalam peristiwa dahsyat pertengahan 1960-an rumah orangtua Bun di Kebun Sikolos diobrak abrik massa, diduduki hingga kini. Mereka bilang ayah Bun penjual gigi dari Peking. Dulu kami sering bermalam di rumah itu. Pagi-pagi terdengar suara sandal ibu Bun berlosoh-losoh mendekati pavilion tempat kami tidur, mengantar kue mohok hangat-hangat. “Tidak halam, tidak halam! Enak laaa, tak pake babi laaa,” ia sondorkan nampan berisi mohok serta teh manis. Begitu sandalnya terlosoh pergi kue dan teh itu amblas ke perut kami.

Fungsi psikologis cerpen terletak pada cuplikan:
Bukan saja Bun, banyak kawan merasakan ulah Sultani. Aku malah tak sekali. Namun yang membuat dendamku membara ketika semua bulu di kepalaku dia babat. Jangan pula licin tandas bak kelapa, potong pendek bak tentara saja aku bosan. Sudah lama aku dambakan model rambut orang dewasa atau rambut abangku, Rustam. Tetapi, setiap usai dicukur kepalaku tetap mirip tentara atau anak kecil. Padahal selalu kuminta Mak Hasan mencukur seperti yang kuinginkan, dan tukang cukur langganan ayah itu pun ber-hm-hm sambil mendorong kepalaku kian kemari.

3. Penokohan
Hasil penganalisisan tersebut dapat pula kita ketahui setiap perwatakan tokoh-tokoh dalam cerpen tersebut, seperti tokoh utamanya yaitu Sultani yang mempunyai watak sangat usil kepada semua orang, tokoh tambahannya yaitu aku(Nius) yang perhatian, pendendam, romantis dan juga mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi, tokoh sederhana seperti Bun, Sui Lin, Tum dan juga Biju yang memiliki sifat watak yang tertentu yang membantu dalam cerpen tersebut, dan terakhir adalah Cudik yang baik hati yang membawa kejutan kepada kawan-kawannya yang lain. Semua itu dapat diamati dari beberapa cuplikan tokoh berikut:

 Tokoh Utama (Sultani)
Tempo-tempo kawan itu, memang cingkahak, alias usil plus kurang ajar. Portir bioskop juga dia ulahi. Diantara lipatan uang sogokan dia selipkan duit buntung atau uang zaman jepang sehingga untuk beberapa waktu kami terpaksa puasa nonton film orang dewasa. Sultani malah tertawa-tawa makan uang haram itu. Dia pernah pula Buya Makruf, guru mengaji kami, terbungkuk-bungkuk keluar tempat wudu bercelana kolor dan dada bugil. Baju, kopyah, serta sarung beliau”terbang; ke halaman masjid ulah Sultani!

 Tokoh Tambahan(aku/Nius)
“Bagaimana kabar Sultani? Di mana dia?” tanyaku pada kawan-kawan dikota kelahiran. Mereka menggeleng. “Itulah,” sahut Tum, kembali menampakkan senyum yang ganjil. “Banyak kawan kita serasa ada dan tiada, Nius. Bak orang-orang dalam mimpi. Tidak kecuali sultani.”

 Tokoh Sederhana (Bun, Sui Lin, Tum dan Biju)
Suatu kali, ketika mandi-mandi dibatang air yang mengalir di kota kami Bun tiba-tiba terpekik. Ada yang menyentak ujung kulupnya dari bawah air. ”Ular! Ular!” Bun berteriak panik. Berenang kalang kabut ketepi mukanya pucat serupa mayat. Kepala sultani menyembul ditengah sungai. Terbahak-bahak seperti hantu air. ”Sunat Bun! Potong Bun! Terlalu panjang Bun!”

Lebih-lebih waktu Sui Lin, suatu pagi, tersenyum melihat kepalaku yang plontos bak kelapa ketika aku nginap dirumah Bun. “Kepala ko Nius kenapa?” Alamak, mati awak rasanya menanggung aib!

“Bagaimana kabar Sultani? Di mana dia?” tanyaku pada kawan-kawan dikota kelahiran. Mereka menggeleng. “Itulah,” sahut Tum, kembali menampakkan senyum yang ganjil. “Banyak kawan kita serasa ada dan tiada, Nius. Bak orang-orang dalam mimpi. Tidak kecuali sultani.”

”Sejak peristiwa itu tak ada yang tahu di mana Sultani dan keluargannya, Nius,” sambung Biju lesu. ”Sanak famili ayahnya dikampung juga tidak. Pernah kami tanya ke situ, hasilnya nihil. Berkabarpun mereka tak pernah sejak kejadian itu.”


 Tokoh Bulat (Cudik)
Cudik bilang mereka membawanya ke Singgalang Kariang. Menghabisinya. Membuang mayat orant tua itu ke Batang Anai. ”Seperti mencampakkan bangkai anjing!” cerita Cudik.
”Bagaimana kau tahu? Ikut aku ke situ?” Kami tanyai Cudik ramai-ramai.
Semua orang bilang begitu. Kalian tidak tahu mereka menghabisinya petang itu juga!” Cudik berkeras. ”Dan, kemarin pagi, ada yang menemukan sepasang mata di Batang Anai waktu menjala ikan. Hanya mata saja, dua buah. Tubuhnya tidak ada!”

4. Plot atau Alur
Dan yang terakhir adalah alur cerpen tersebut adalah menggunakan alur campuran, yang diceritakan secara acak dari masa kini, berpuluh tahun yang lalu dan kembali lagi kemasa sekarang. Hal ini terlihat dari cuplikan berikut:
“Si Cudik kini di Lubuk Sikaping,” Biju menerangkan dengan gembira. Tak lama lagi pensiun. Si Talib di Dumai, sudah bercucu satu, si Tunik buka lepau nasi di Muaro Bungo. Dua lepau nasinya sekarang, Nius. Satu di Palembang. Hebat dia!”
Dalam peristiwa dahsyat pertengahan 1960-an rumah orangtua Bun di Kebun Sikolos diobrak abrik massa, diduduki hingga kini. Mereka bilang ayah Bun penjual gigi dari Peking. Dulu kami sering bermalam di rumah itu. Pagi-pagi terdengar suara sandal ibu Bun berlosoh-losoh mendekati pavilion tempat kami tidur, mengantar kue mohok hangat-hangat. “Tidak halam, tidak halam! Enak laaa, tak pake babi laaa,” ia sondorkan nampan berisi mohok serta teh manis. Begitu sandalnya terlosoh pergi kue dan teh itu amblas ke perut kami.


DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Alwi, Adek. 2005. Mata Sultani. Kompas Edisi 12 Juni 2005 hal: 17.
Aminuddin. 2000. Pengantar Apresiasi karya sastra. Bandung. Algasindo
Foster, E.M. 1970. Aspect of the Novels. Harmondswort: Penguin Book.
Hartoko, Dick dan B. rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia sastra. Yogyakarta: Kanisius
Jones, Edward H. 1968. Outlines of Literatur: Short Stories, Novels, and Poems. New York: The Macmillan Company

Tidak ada komentar:

Posting Komentar